Informan
Pagi yang terasa
berat, sepertinya kepalaku pusing mungkin karena kehujanan malam sebelumnya.
Suasana masih gelap di kamarku dan badanku juga terasa terkekang, ada sesuatu yang
memelukku erat. Apa yang harus ku lakukan? Nggak enak mau bangunin Andre
subuh-subuh buta kayak gini, Tapi aku jadi sulit bergerak di buatnya. Tubuh ini
terasa hangat walau tidur nggak pake selimut, tapi aku tetap masih bisa
merasakan kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuh ini.
Sekarang masih jam 5
pagi, Andre masih tertidur pulas. Ku tatap wajahnya yang polos di kala tidur,
sedikit mendengkur tandakan masih on di alam mimpi. Ku tatap langit-langit
kamarku, teringat masaku waktu bersama Andi ketika masih kecil dahulu. Andi
selalau tidur bersamaku dan memelukku, apa lagi kalau sudah hujan petir makin
erat peluknya. Kini Andi sudah dewasa dan tidak mengenaliku lagi yang sudah
lama terpisah darinya.
Hemmmm...
Ada sesuatu yang
keras tapi lembut menyentuh paha kananku. Sebaiknya aku cek apa itu, tapi aku
masih susah untuk bangkit karena Andre masih memelukku erat. Duh... Berat,
nggak bisa gerak. Aku cek benda keras yang menyentuh paha kananku dengan tangan
kananku. Suatu benda tumpul keras yang terbungkus kain tipis. Aku ingin tau
detailnya, tapi aku nggak bisa liat karena masih gelap dan susah bergerak. Aku
menyentuh benda itu yang ukurannya segenggamanku, terbuat dari bahan kulit
hangat dan lembut dengan asesoris rambut tipis yang tak begitu banyak.
Morning Erection...
****
Melaksanakan
rutinitas pagi seperti biasa, tapi kali ini aku harus melepaskan pelukan Andre
perlahan agar tidak mengganggu mimpi indahnya. Ku angkat tangan kanannya yang
memeulukku, ku geser juga kaki kanannya yang melintang di kakiku sambil
memerikan tekanan sedikit ke tubuhnya hingga Andre ke posisi telentang
menghadap langit-langit. Aku bangkit dari kasurku dan duduk di pinggiran kasur.
Aku masih memperhatikan wajah Andre, masih sangat tenang. Aku berjalan ke dekat
pintu kamarku dan menghidupkan saklar lampu dan kamarku pun sudah menjadi
terang benderang. Kini kepolosan Andre terlihat jelas dengan terang cahaya
lampu. Aku mendatanginya dan mencium pipinya, ku perhatikan apa yang tadi
menyentuh pahaku sudah tak terlihat lagi kecuali gundukan kecil.
"1,2,3,4,5,.....,9.10"
"1,2,3,4,5,.....,9.10"
"1,2,3,4,5,.....,9.10"
"1,2,3,4,5,.....,9.10"
Olahraga pagi
selesai. Aku bergegas untuk mandi dan kini telah memasuki jam 5.30 pagi. Andre
belum ada tanda-tanda untuk bangun. Ku dekati Andre sekali lagi, walau badan
ini sudah basah keringat. Ku cium pipinya dan aku kembali berdiri di pinggiran
kasurku menatap tubuhnya dari ujung ramput sampai ujung titit. Hahahaha... Ku
pelorotkan celana pendeknya sedikit untuk mengecek isinya.
Hemmmmm....
Lumayan.
Uncut.....
Wew...
Aku segera mengambil
handuk dan peralatan mandi terus turun tangga menuju kamar mandi umum. Acara
mandi nggak lama dan nggak mengantri, aku langsung dapat bilik kamar mandi kali
ini. Setealah mandi aku berpapasan dengan Reza.
"Dah selesai ya
mas mandinya?" tanya Reza ramah.
"Kenapa? Kau mau
nggajak mandi lagi?" tanyaku sambil tertawa.
"Ee... Enggak
mas." jawab Reza salah tingkah.
"Ya sudah mas,
saya mandi dulu ya." tambah Reza dan beranjak meninggalkanku.
"Za... Kalau mau
ku kawani biar ku kawani. Hahahaha..." candaku sambil tertawa.
Reza tersipu malu dan
masuk bilik kamar mandi dengan wajah senyum-senyum. Aku kembali ke kamarku dan
mengeringkan tubuhku yang basah. Ku lepas handukku dan ku lap ke sekujur
tubuhku. Andre tiba-tiba bangun dan menatapku dengan wajah masih ngantuk.
"Bang... Kok
telanjang kau bang?" tanya Andre sambil menguap.
Aku tututpkan bagian
privasiku segera dengan handuk tadi, dan pergi ke hapannya.
Kletak....
Ku jitak kepalanya.
"Sukakku lah,
ini kan dalam kamarku. Kau nya ngapain tengok-tengok." repetku.
"Duh... Sakit
Anj*ng." ketus Andre sambil memegang kepalanya yang ku jitak tadi.
"Mandi kau sana,
nanti telat kau sekolah!" seruku.
"Dah pulang mamakku
bang?" tanya Andre.
"Dah... Sana lah
kau tengok. Sama bapak barumu ku tengok mamak kau." ejekku.
"Is... Anj*ng.
Mana pulak. Eh bang, jemb*t mu lebat kali kayak sarang semut. Potong bang, cari
mesin babat. Hahahaha...." ejek Andre sambil berlari menuju pintu kamarku.
Ku kejar Andre tapi
nggak dapat karena sudah selak keluar dan menuruni tangga. Ku beneri handukku
takut ada yang liat kalau terlepas dari pingganggu, aku takut ada sesuatu yang
bikin sesuatu menjadi kaku. Seragam pramuka, yups... Hari ini aku kenakan
serangam yang berwarna cokelat ini. Seragam pramuka dengan celana panjang
cokelat. Badanku yang atletis sepertinya terasa cocok dan gagah kalau
mengenakan seragam ini. Persiapan sekolah selesai.
****
Pagi hari di sekolahku,
aku belum memiliki banyak teman yang bisa dibilang akrab. Danu dan Rendi walau
dibilang musuhan tapi enggak juga, kita seeprtinya memeiliki ikatan yang sulit
dibicarakan tapi dapat dirasakan dengan kepalan tinju ini. Andi masih saja
enggan dekat denganku, selalau jaga jarak dan cuek di antara teman-teman
akrabnya. Andi selalu bersama Reno yang berpostir agak chuby. Jam pelajaran pertama pun usai, aku mengejar Andi
ke kantin.
"Andi...
Tunggu!" seruku.
"Siapa kau
ngatur-ngatur hidupku, emang aku ade...."
Tak...
Ku jitak kepala Andi
sebelum dia selesai ngomong.
"Aduh..."
ketus Andi.
"Bodoh amat,
tapi aku jamin hidup kau nggak akan tenang di sini. Hahahaha....."
jawabku.
"No.. Pinjem
Andi bentar." seruku ke Reno teman akrab Andi.
""Tenang
aja! Bentar, ada yang mau ku omongin sama Andi. Ku jamin nggak adakn lecet lah,
kasi garansi. Oke." tambahku ke Reno sambil pegang tangan Andi dan
membawanya bersamaku ke belakang bangunan kelas yang berada di dekat kantin.
Suasana cukup tenang
di belakang bangunan kelas, ada beberapa batang pohon tinggi di sini.
"Ndi... Dengerin
dulu, ada yang mau ku omongin. Penting!" seruku.
Andi menatapku
perlahan dengan salah tingkah, suasana kok jadi rumit gini ya.
"Mau ngomong
apa? Cepat kau ngomong! Nanti aneh di lihat orang." seru Andi.
Aku menggenggam
tangan Andi yang berubah dingin dan wajahnya memucat.
"Sebenarnya aku
itu aba*% kau. Oky..."
"Is... Jijik....
Homo." tiba tiba ada dua orang melintas di dekat kami sambil berlalu.
"Dah ah, nggak
jelas entah apa yang kau bilang. Aku nggak mau main homo-homoan sama kau. Jijik
aku nengok kau." ketus Andi.
Tak....
Sebuah jitakan
mendarat di kepalanya lagi.
"Bukan itu,
nggak main homo-homoan. Aku Cuma mau bilang aku ini aba*%& kau!" seruku
tapi aku agakl ragu mengucapkannya.
"Dah ah, nggak
penting. Berhinti sok akrab samaku, berhenti jitak kepalaku. Aku bukan adek kau
yang seenakknya kau jitak anj*ng." Andi kesal dan meninggalkanku.
Aku terdiam kaku
sambil memperhatikan Andi yang meninggalkanku. Sampai kapan aku dapat
meraihnya, ini seperti seorang homo yang meminta kasih kepada seorang cowok
stright. Emang seperti itu kah keadaan ini? Mungkin aku harus mencari info yang
lebih tentang Andi dan mendekatinya dengan cara itu. Kalau aku berhenti di
sini, permasalahan ini nggakkan pernah bisa kelar. Harus semangat.
****
Jam pelajaran kedua
berlangsung, tapi otakku tak bisa bekerja dengan baik. Aku masih saja berpikir
bagaimana cara memperbaiki hubunganku dengan Andi. Mungkin aku butuh beberapa
informan dan harus melakukan observasi lapangan untuk mengungkap siapa jati
diri Andi. Mulai dari mengorek informasi dari teman yang terlihat akrab dengan
Andi atau cewek yang mungkin ngefans sama dia dan buntutin dia ketika pulang
dari sekolah. Nice... Cara ini pasti berhasil. Hihihi... Aku akan melakukan
penyerangan terhadapmu Andi, awas lah kau ya.
"Yap... Nice.
Gitu aja...!" seruku.
Eh.......
Semua mata tertuju
padaku, dan aku lupa kalau ini masih dalam jam pelajaran. Gawat....
"Si bodoh...."
hela nafas si Danu.
"Ari....!"
seru ibu guruku dengan tatapan bagai elang yang sudah melihat tikus di
rerumputan.
"I... Iya
buk." jawabku raku dan terbata-bata.
"Berdiri kau di
depan kelas. Cepat... Ngayal pulak kau di jam pelajaranku. Memang nggak adalah
sopan santunmu di kelas." repet bu guruku.
Apes dah...
Berdiri di lorong
kelas sendirian di jam pelajaran yang deng berlangsung. Memang hukuman ini
tidaklah begitu sadis, tapi apalah yang akan terjadi berikutnya kalau aku hari
demi hari menimba masalah, bukannya menimba ilmu bener-bener.
Maaf kan abang yah,
abang sudah buat masalah yang banyak di sekolah.
Semoga tidak dapat SP
(Surat Peringatan), kan malu kalau ayah datang ke sekolahku karena masalahku.
****
"Woi longor!
Mampus kau." ejek Danu dkk yang keluar dari ruang kelas setelah bell
istirahat berbunyi.
Terlihat Rendi diam
saja, dia tak ikut mencelaku hanya lirik-lirik aja dan berlalu juga bersama
Danu. Ada yang aneh dari tatapan mata anak ini, mungkin dia lagi sak berak ya?
Hahahaha.... Nggak lah. Rendi lumayan bisa bertarung walau tak begitu hebat
sih, masih hebatan aku lagi.
"Ari... Ikut
ibuk ke kantor." seru bu guru.
Aku pun mengikuti buk
guru ke kantor dan di sana aku jumpa kembali dengan wali kelasku, Pak Fredy.
Aku hanya bisa cengar-cengir melihat wajah Pak Fredy yang sedang dalam mode
Fighter, bisa gawat nie.
"Masalah apa
lagi yang kau buat di kelas hah?" tanya Pak Fredy tegas.
"Anu... Anu
pak." jawabku gaguk (gagap).
"Anu anu apa?
Kenapa anumu?" tanya Pak Fredy.
"Nggak pak,
bukan anu saya." aku hanya bisa cengar cengir melempar senyum palsu yang
begitu kaku.
"Jadi anu
siapa?" bentak Pak Fredy.
"Nggak anu
siapa-siapa pak." jawabku lagi.
Begitulah tanya jawab
dengan Pak Fredy walau nggak dihukum berat cuma dinasehati aja agar tidak
mendekati masalah dan membuat masalah di sekolah ini. Akhirnya aku pun
meninggalkan ruangan kantor menuju kantin. Di sana aku melihat Andi, aku akan
samperin Andi.
"Woi bencong,
gaya kau lae." bentak seseorang yang tak ku kenal kepada Andi.
"Mau kau
apa?" seru Andi kepada orang itu.
"Jauh kau dari
sini, kami mau makan di sini." bentak orang itu lagi.
Aku memperhatikan
keadaan dahulu, apa yang sedang terjadi. Sepertinya ini pereman kelas lain ya
yang akan cari masalah. Aku tak ingin gegabah dan buat masalah yang tambah
besar, tapi aku nggak akan biarkan orang-orang itu bertindak seenaknya terhadap
Andi adek kesayanganku.
"Kan aku yang
duluan duduk di sini, sukku lah." Andi bersikeras mempertahankan tempat
duduknya.
Reno teman Andi masih
bersama Andi, tapi kelihatannya sangat ketakutan atas apa yang sedang terjadi.
Pengunjung kantin hanya menonton tak ada yang berani ikut campur masalah ini.
Kenapa bisa begini? Apakah mereka juga pereman besar di sini? Aku nggak perduli
kalau itu berkaian dengan Andi, harus diberantas.
Sebuah tinju melayang
ke arah wajah Andi. Aku berlari untuk melindungi Andi, tapi jarakku terlalu
jauh. OMG... Andi...
Tap...
Tinju itu pun
ditangkap oleh seseorang.
"Anj..."
orang itu menahan ucapannya.
"Dasar binatang
kalian. Sekali kalian buat ribut di sekolahku ku keluarkan kalian." bentak
seseorang berpostur tegap tinggi.
Orang berpostur tegap
itu adalah.....
Kepala Sekolah.
"Sudah....
Bubar... Buaba.... Nggak ada tontonan. Masuk kalian semua ke kelas."
bentak Pak Kepala sekolah.
Syukurlah aku tak
gegabah kali ini, kalau tidak malah tambah parah masalahku. Kenapa bisa ada Pak
Kepala Sekolah di sini ya? Tapi sudahlah, anggap aja ini hanya kebetulan
semata. Aku samperin Andi yang sedang berjalan meninggalkan kantin bersama Reno
teman akrabnya.
"An... Nggak apa
kau?" tanyaku.
"Jangan sok sok
khawatir kau bodat." jawab Andi sinis dan meninggalkanku.
"Ndi... Nggak
boleh gitulah, ditanyain juga." terdengar suara Reno menasehati Andi akan
sikapnya kepadaku.
Hemmmm.... Apa yang
harus ku lakukan. Info ya? Aku akan cari ratu gosip yang mengetahui 1001 kabar
seputaran sekolah ini dan aku sudah dapat info tentnag si ratu gosip, namanya
Susi. Besok akan ku tanya tentang berita gosip seputaran sekolah ini. Hihihihi...
Oke....
Next....
****
Jumat Barokah....
Sore Jumat yang
cerah. Aku duduk termenung di kamarku.
"Bang.... Bang!
Is... Pekak kali lah kupingnya. Dipanggilin dari tadi bukannya dengar."
repet Andre.
"Eh... Kau ngapain
di sini? Bukannya ketok pintu dulu." aku segera bangkit dari kasur
empukku.
"Udah pekak...
Ini kue dari mamak di kasi wak endut." Andre meletakkan sepiring kue aneka
ragam dan beranjak dari kamarku.
"Ndre...
Tunggu!" seruku.
"Apa lagi? Tadi
aku kau usir." Andre berhenti dengan tatapan mata sinis.
"Mana pulak ku
usir. Eh sinilah abang bilangin." panggilku.
"Nggak usah kau
suruh aku yang aneh-aneh ya." seru Andre.
"Nggak lah.
Jelek aja prasangkau kau itu." jawabku.
Andre pun duduk di
sebelah Ari di kasurnya. Suasana yang tenang dengan cahaya mentari sore yang
masuk ke dalam kamar dari celah dinding papan yang lapuk. Andre masih menunggu
apa yang bakal ku ucapkan dan aku juga bingung apa yang harus ku lakukan.
"Entah apa,
nggak jelas. Dah lah...." Andre kesal karena aku dari tadi diam saja tanpa
bicara padanya.
Andre berdiri dari
tempat duduknya tadi ingin meninggalkanku.
"Tunggu-tunggu!
Bentar dulu lah." seru ku sambil menahan tangan Andre.
"Iya, tapi kau
nggak jelas mau ngapain." seru Andre.
"Dah lah, aku
mau mandi, dah sore." ketus Andre masih jengkel.
"Bentar... Ada
mau minta tolong sama kau." pintaku.
"Bodoh lah...
Langsung aja mau ngomong apa kont*l. Dari tadi nggak adanya bicaramu
bebi." Andre ngamuk menatapku.
Duh... Makin serem aja
nie bocah.
"Aku bisa nggak
minta tolong besok kau ikut aku mengadakan penelitian?" pintaku ke Andre.
"Kok aku?"
Andre kaget.
"Kan kau yang
tau daerah-daerah sekitar sini, kalau aku yang berangkat nanti aku nyasar kalau
sendirian." jelasku.
"Terus kalau kau
nyasar mati kau?" tanya Andre masih jengkel.
"Lah... Orang
minta tolong kok. Dah lah kalau kau nggak mau tolongin, aku cari orang lain
aja." aku pun akhirnya ngambek menghadapi anak yang satu ini dengan sifat
dan mulutnya yang rusak ini.
Andre berpikir untuk
sejenak. Mungkin dia merasa bersalah dan mendatangiku. Andre berdiri tepat di
hadapanku, aku menatapnya dari ujung kaki terus naik ke atas dan berhenti pada
satu gundukan. Wew... Kayaknya gede... Waduh.... Nggak saatnya nie, aku pun
terus menatap wajahnya dengan memasang wajah masih kesel.
"Jangan besok,
aku mau main bola besok sore sama kawanku. Hari Minggu aja." seru Andre.
"Hemmmm...."
oke lah.
"Dah lah, aku
mau mandi." ketus Andre sambil meninggalkanku menuju pintu kamarku.
"Ikut Ndre...' seru
ku.
"Is... Homo kau
anj*ng." ketus Andre dengan wajah masam.
Tak...
Sebuah kepalan tinju
mendarat di kepala Andre.
"Sakit
kon......" Andre mengumpat tetapi ucapannya terhenti.
"Mau bilang apa
kau?" bentak mamak Andre yang ternyata berada di depan pintu.
Andre kaget dan
terdiam.
"Nggak ada sopan
kau, bandal kali. Kok berantam aja kerjaan kau sama si Bernat? Tiap-tiap hari
aku dilabrak mamaknya. *$^*((#%&** Y&%*%&**( (^(%^$*(*&%" Andre diomelin mamaknya
panjang lebar.
"Udah-udah Nde. Masalah
anak-anaknya itu." aku menyabarkan mamak Andre yang marah besar.
"Iya bang, tapi
nggak ada dipakenya otaknya. Capek aku ngomong sama dia nggak adanya
didengarnya cakapku." seru mamak Andre kepadaku.
Andre pun pergi
segera menuruni tangga dengan wajah yang sedih.
"Ndre... Mau
kemana kau?" teriak mamak Andre.
"Sudah Nde, biar
aku saja yang kejar. Nanti ku nasehati dia." seruku.
"Payah kali anak
itu dibilangi bang, merengkel kali. Nggak tau lagi aku macam mana mendidik dia,
kayak ginilah kalau besarkan anak sambil kerja. Bapaknya pun nggak ada
tanggungjawabnya sikit pun." keluh mamak Andre.
"Iya Nde...
Sabar Nde. Biar ku kejar Andre ya Nde." seruku.
Ya lah bang. Makasi
kali aku sama abang ini lah, baek kali abang ini." ketus mamak Andre.
"Biasa aja Nde,
kita kan harus saling tolong menolong."
Aku pun melihat
kondisi sekitar. Aku mencari Andre yang tadi ku lihat wajahnya sangat kalut
kayak orang putus cinta. Beugh... Kira-kira kemana anak ini ya, dah mau malam
juga ini.
"Dek! Ada kau
nampak di Andre?" tanyaku kepada salah seorang bocah yang umurnya sedikit
di bawah Andre warga sekitar situ juga.
"Kayaknya lari
ke situ dia bang." jawab bocah itu sambil menunjukkan ke arah sungai yang
biasa juga dipakai warga untuk mandi dan mencuci.
Perlahan aku
menyisiri tempat pemandian dan tempat orang mencuci, tapi nggak dapat. Malah
aku dituduh mau ngintip cewek mandi, beugh... Hahahah... Salah tempat cari, kok
malah cari ke bagian ibuk-ibuk.
Lelah mencari dan
matahari sudah mulai bersembunyi di ufuk barat. Aku terduduk di tepian sungai
sambil berpikir di mana lah keberadaan Andre. Perlahan aku mulai mendengar
suara-suara aneh, tapi aku tidak mendapati sumber suara itu dari mana. Perlahan
aku menyisiri tepian sungai dan aku menemukan makhluk hitam dengan suara aneh
di sebuah rawa dekat sungai itu. Aku ingin berlari tapi ....
"Ah...."
Terdengar seperti
suara orang mengaduh kesakitan dan suara itu nggak asing lagi, suara Andre.
Aku berlari dan
terjun ke rawa tadi karena makhluk tadi adalah Andre yang berada di kubangan
lumpur hitam itu.
"Ndre, kok bisa sampai
di sini kau?" tanyaku sambil berusaha membersihkan Andre dari lumpur rawa.
"Aduh duh
duh..." jawab Andre.
Kaki Andre terjepit
sebuah dahan pohon yang terbenam di dasar rawa. Aku melepaskan kaki Andre
perlahan. Setelah kaki Andre dapat terlepas aku membawa Andre ke tepian sungai
yang dangkal untuk membersihkan tubuh dan pakaian Andre yang penuh lumpur.
"Kalau dah mau
gelap jangan main ke sungai ya." ejekku sambil tersenyum melihat Andre.
Andre nggak perduli
apa yang ku katakan, mungkin karena merasasa sakit pada bagian kakinya tadi.
"Kau bisa jalan
Ndre?" tanyaku.
Andre pun berdiri dan
sepertinya mengalai kesulitan.
"Sini
naik!" seruku agar Andre naik ke pundakku.
"Males ah, aku
jalan aja.... Duh duh duh...." Andre menolak dan paksakan jalan.
"Tuh lah, jangan
dipaksa." seruku.
Akhirnya Andre ku
gendong belakang pulang menuju kosatan. Baju kita sama dalam keadaan basah dan
kotor, tapi syukur hari dah gelap dan tidak ada orang yang perhatikan kita.
"Kau kenapa
Ndre?" tanyaku Andre yang berada di gendonganku.
"Si Bernatnya
itu duluan, tapi mamakku selalu anak orang dibelainnya. Si Bernat pun sukak
kali ngadu-ngadu, mulut mamaknya pun jabir kali. Sekampun tau kalau anaknya
lecet sikit, padahal anaknya yang bandal. Itu lah bang aku benci kali nengok
orang itu, mamkku juga sama aja." keluh Andre.
"Hus.... Nggak
boleh gitu. Mamakmu niatnya baeknya, tapi mungkin caranya aja yang salah. Dah
lah, kau kan dah besar jadi bisa berpikir." seruku.
"Iya bang, tapi
jengkel kali aku." jawab Andre.
"Iya... Iya...."
jawabku.
Andre melepaskan
kesedihannya di pundakku. Aku tau kalau kali ini dia begitu hancur dan butuh
seseorang untuk mendengar keluh kesahnya. Setiap orang punya masalah dan Andre
inilah masalahnya, masalah dalam berteman dan bersama mamaknya. Yang sabar ya
Ndre.
Setibanya di rumah
kosatan.
"Andre... Kenapa
kau?" tanya mamak Andre dengan nada keras.
"Nggak apa Nde,
tapi kayaknya kakinya keseleo." jawabku sambil beri isyarat agar Nande
nggak marahin Andre kali ini.
Mamak Andre pun paham
maksudku dan sediakan perlengkpan mandi karena kita basah dan kumuh. Aku
menggendong Andre ke sebuah bilik kamar mandi dan di sana sudah disediakan
mamak Andre perlengkapan mandi dan baju ganti Andre. Perlahan aku menurunkan
Andre dan aku mengisyaratkan Andre agar tunggu sebentar. Aku mencuci tangan dan
kaki kemudian mengambil baju ganti di kamarku kemudian kembali ke kamar mandi
tadi. Andre masih kesal sama mamaknya tan mamak Andre pun paham dan tidak marah
lagi.
Perlahan aku tutup
pintu kamar mandi dan keran air pun ku hidupkan. Andre masih termenung akan
nasibnya yang terlihat apes. Aku merasa iba melihat Andre karena menurutku
Andre nggak memiliki siapa-siapa yang bisa menjadi tempatnya untuk bersandar
kalau ada masalah seperti ini. Aku berjanji akan memperlakuka Andre seperti
adekku sendiri dan aku akan berusaha untuk menjaganya juga.
Andre...
________________________________________________
Mozaik berikutnya.
"Aku benci
mamak!" Teriak Andre.
"Anak kurang
ajarnya ini!" teriak mamak Andre.
Keadaan semakin panas
antara mamak Andre dengan Andre.
"Tenang Nde...
Andre hanya butuh waktu sendiri." jelasku.
"Aku nggak mau
sama mamak." Andre merajuk.
Tidurlah di sisiku Ndre
sampai hatimu menjadi tenang, aku akan menjaga kamu, aku janji.
KESATRIA PENJAGA (Mozaik 5)
Aku Akan Menjagamu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar