Senin, 19 Maret 2018

KESATRIA PENJAGA (Mozaik 4)


Informan

Pagi yang terasa berat, sepertinya kepalaku pusing mungkin karena kehujanan malam sebelumnya. Suasana masih gelap di kamarku dan badanku juga terasa terkekang, ada sesuatu yang memelukku erat. Apa yang harus ku lakukan? Nggak enak mau bangunin Andre subuh-subuh buta kayak gini, Tapi aku jadi sulit bergerak di buatnya. Tubuh ini terasa hangat walau tidur nggak pake selimut, tapi aku tetap masih bisa merasakan kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuh ini.

Sekarang masih jam 5 pagi, Andre masih tertidur pulas. Ku tatap wajahnya yang polos di kala tidur, sedikit mendengkur tandakan masih on di alam mimpi. Ku tatap langit-langit kamarku, teringat masaku waktu bersama Andi ketika masih kecil dahulu. Andi selalau tidur bersamaku dan memelukku, apa lagi kalau sudah hujan petir makin erat peluknya. Kini Andi sudah dewasa dan tidak mengenaliku lagi yang sudah lama terpisah darinya.

Hemmmm...

Ada sesuatu yang keras tapi lembut menyentuh paha kananku. Sebaiknya aku cek apa itu, tapi aku masih susah untuk bangkit karena Andre masih memelukku erat. Duh... Berat, nggak bisa gerak. Aku cek benda keras yang menyentuh paha kananku dengan tangan kananku. Suatu benda tumpul keras yang terbungkus kain tipis. Aku ingin tau detailnya, tapi aku nggak bisa liat karena masih gelap dan susah bergerak. Aku menyentuh benda itu yang ukurannya segenggamanku, terbuat dari bahan kulit hangat dan lembut dengan asesoris rambut tipis yang tak begitu banyak.

Morning Erection...

****

Melaksanakan rutinitas pagi seperti biasa, tapi kali ini aku harus melepaskan pelukan Andre perlahan agar tidak mengganggu mimpi indahnya. Ku angkat tangan kanannya yang memeulukku, ku geser juga kaki kanannya yang melintang di kakiku sambil memerikan tekanan sedikit ke tubuhnya hingga Andre ke posisi telentang menghadap langit-langit. Aku bangkit dari kasurku dan duduk di pinggiran kasur. Aku masih memperhatikan wajah Andre, masih sangat tenang. Aku berjalan ke dekat pintu kamarku dan menghidupkan saklar lampu dan kamarku pun sudah menjadi terang benderang. Kini kepolosan Andre terlihat jelas dengan terang cahaya lampu. Aku mendatanginya dan mencium pipinya, ku perhatikan apa yang tadi menyentuh pahaku sudah tak terlihat lagi kecuali gundukan kecil.

"1,2,3,4,5,.....,9.10"
"1,2,3,4,5,.....,9.10"
"1,2,3,4,5,.....,9.10"
"1,2,3,4,5,.....,9.10"

Olahraga pagi selesai. Aku bergegas untuk mandi dan kini telah memasuki jam 5.30 pagi. Andre belum ada tanda-tanda untuk bangun. Ku dekati Andre sekali lagi, walau badan ini sudah basah keringat. Ku cium pipinya dan aku kembali berdiri di pinggiran kasurku menatap tubuhnya dari ujung ramput sampai ujung titit. Hahahaha... Ku pelorotkan celana pendeknya sedikit untuk mengecek isinya.

Hemmmmm....
Lumayan.
Uncut.....
Wew...

Aku segera mengambil handuk dan peralatan mandi terus turun tangga menuju kamar mandi umum. Acara mandi nggak lama dan nggak mengantri, aku langsung dapat bilik kamar mandi kali ini. Setealah mandi aku berpapasan dengan Reza.

"Dah selesai ya mas mandinya?" tanya Reza ramah.
"Kenapa? Kau mau nggajak mandi lagi?" tanyaku sambil tertawa.
"Ee... Enggak mas." jawab Reza salah tingkah.
"Ya sudah mas, saya mandi dulu ya." tambah Reza dan beranjak meninggalkanku.
"Za... Kalau mau ku kawani biar ku kawani. Hahahaha..." candaku sambil tertawa.

Reza tersipu malu dan masuk bilik kamar mandi dengan wajah senyum-senyum. Aku kembali ke kamarku dan mengeringkan tubuhku yang basah. Ku lepas handukku dan ku lap ke sekujur tubuhku. Andre tiba-tiba bangun dan menatapku dengan wajah masih ngantuk.

"Bang... Kok telanjang kau bang?" tanya Andre sambil menguap.

Aku tututpkan bagian privasiku segera dengan handuk tadi, dan pergi ke hapannya.

Kletak....

Ku jitak kepalanya.

"Sukakku lah, ini kan dalam kamarku. Kau nya ngapain tengok-tengok." repetku.
"Duh... Sakit Anj*ng." ketus Andre sambil memegang kepalanya yang ku jitak tadi.
"Mandi kau sana, nanti telat kau sekolah!" seruku.
"Dah pulang mamakku bang?" tanya Andre.
"Dah... Sana lah kau tengok. Sama bapak barumu ku tengok mamak kau." ejekku.
"Is... Anj*ng. Mana pulak. Eh bang, jemb*t mu lebat kali kayak sarang semut. Potong bang, cari mesin babat. Hahahaha...." ejek Andre sambil berlari menuju pintu kamarku.

Ku kejar Andre tapi nggak dapat karena sudah selak keluar dan menuruni tangga. Ku beneri handukku takut ada yang liat kalau terlepas dari pingganggu, aku takut ada sesuatu yang bikin sesuatu menjadi kaku. Seragam pramuka, yups... Hari ini aku kenakan serangam yang berwarna cokelat ini. Seragam pramuka dengan celana panjang cokelat. Badanku yang atletis sepertinya terasa cocok dan gagah kalau mengenakan seragam ini. Persiapan sekolah selesai.

****

Pagi hari di sekolahku, aku belum memiliki banyak teman yang bisa dibilang akrab. Danu dan Rendi walau dibilang musuhan tapi enggak juga, kita seeprtinya memeiliki ikatan yang sulit dibicarakan tapi dapat dirasakan dengan kepalan tinju ini. Andi masih saja enggan dekat denganku, selalau jaga jarak dan cuek di antara teman-teman akrabnya. Andi selalu bersama Reno yang berpostir agak chuby. Jam  pelajaran pertama pun usai, aku mengejar Andi ke kantin.

"Andi... Tunggu!" seruku.
"Siapa kau ngatur-ngatur hidupku, emang aku ade...."

Tak...
Ku jitak kepala Andi sebelum dia selesai ngomong.

"Aduh..." ketus Andi.
"Bodoh amat, tapi aku jamin hidup kau nggak akan tenang di sini. Hahahaha....." jawabku.
"No.. Pinjem Andi bentar." seruku ke Reno teman akrab Andi.
""Tenang aja! Bentar, ada yang mau ku omongin sama Andi. Ku jamin nggak adakn lecet lah, kasi garansi. Oke." tambahku ke Reno sambil pegang tangan Andi dan membawanya bersamaku ke belakang bangunan kelas yang berada di dekat kantin.

Suasana cukup tenang di belakang bangunan kelas, ada beberapa batang pohon tinggi di sini.

"Ndi... Dengerin dulu, ada yang mau ku omongin. Penting!" seruku.

Andi menatapku perlahan dengan salah tingkah, suasana kok jadi rumit gini ya.

"Mau ngomong apa? Cepat kau ngomong! Nanti aneh di lihat orang." seru Andi.

Aku menggenggam tangan Andi yang berubah dingin dan wajahnya memucat.

"Sebenarnya aku itu aba*% kau. Oky..."
"Is... Jijik.... Homo." tiba tiba ada dua orang melintas di dekat kami sambil berlalu.
"Dah ah, nggak jelas entah apa yang kau bilang. Aku nggak mau main homo-homoan sama kau. Jijik aku nengok kau." ketus Andi.

Tak....
Sebuah jitakan mendarat di kepalanya lagi.

"Bukan itu, nggak main homo-homoan. Aku Cuma mau bilang aku ini aba*%& kau!" seruku tapi aku agakl ragu mengucapkannya.
"Dah ah, nggak penting. Berhinti sok akrab samaku, berhenti jitak kepalaku. Aku bukan adek kau yang seenakknya kau jitak anj*ng." Andi kesal dan meninggalkanku.

Aku terdiam kaku sambil memperhatikan Andi yang meninggalkanku. Sampai kapan aku dapat meraihnya, ini seperti seorang homo yang meminta kasih kepada seorang cowok stright. Emang seperti itu kah keadaan ini? Mungkin aku harus mencari info yang lebih tentang Andi dan mendekatinya dengan cara itu. Kalau aku berhenti di sini, permasalahan ini nggakkan pernah bisa kelar. Harus semangat.

****

Jam pelajaran kedua berlangsung, tapi otakku tak bisa bekerja dengan baik. Aku masih saja berpikir bagaimana cara memperbaiki hubunganku dengan Andi. Mungkin aku butuh beberapa informan dan harus melakukan observasi lapangan untuk mengungkap siapa jati diri Andi. Mulai dari mengorek informasi dari teman yang terlihat akrab dengan Andi atau cewek yang mungkin ngefans sama dia dan buntutin dia ketika pulang dari sekolah. Nice... Cara ini pasti berhasil. Hihihi... Aku akan melakukan penyerangan terhadapmu Andi, awas lah kau ya.

"Yap... Nice. Gitu aja...!" seruku.

Eh.......

Semua mata tertuju padaku, dan aku lupa kalau ini masih dalam jam pelajaran. Gawat....

"Si bodoh...." hela nafas si Danu.
"Ari....!" seru ibu guruku dengan tatapan bagai elang yang sudah melihat tikus di rerumputan.
"I... Iya buk." jawabku raku dan terbata-bata.
"Berdiri kau di depan kelas. Cepat... Ngayal pulak kau di jam pelajaranku. Memang nggak adalah sopan santunmu di kelas." repet bu guruku.

Apes dah...

Berdiri di lorong kelas sendirian di jam pelajaran yang deng berlangsung. Memang hukuman ini tidaklah begitu sadis, tapi apalah yang akan terjadi berikutnya kalau aku hari demi hari menimba masalah, bukannya menimba ilmu bener-bener.

Maaf kan abang yah, abang sudah buat masalah yang banyak di sekolah.

Semoga tidak dapat SP (Surat Peringatan), kan malu kalau ayah datang ke sekolahku karena masalahku.

****

"Woi longor! Mampus kau." ejek Danu dkk yang keluar dari ruang kelas setelah bell istirahat berbunyi.

Terlihat Rendi diam saja, dia tak ikut mencelaku hanya lirik-lirik aja dan berlalu juga bersama Danu. Ada yang aneh dari tatapan mata anak ini, mungkin dia lagi sak berak ya? Hahahaha.... Nggak lah. Rendi lumayan bisa bertarung walau tak begitu hebat sih, masih hebatan aku lagi.

"Ari... Ikut ibuk ke kantor." seru bu guru.

Aku pun mengikuti buk guru ke kantor dan di sana aku jumpa kembali dengan wali kelasku, Pak Fredy. Aku hanya bisa cengar-cengir melihat wajah Pak Fredy yang sedang dalam mode Fighter, bisa gawat nie.

"Masalah apa lagi yang kau buat di kelas hah?" tanya Pak Fredy tegas.
"Anu... Anu pak." jawabku gaguk (gagap).
"Anu anu apa? Kenapa anumu?" tanya Pak Fredy.
"Nggak pak, bukan anu saya." aku hanya bisa cengar cengir melempar senyum palsu yang begitu kaku.
"Jadi anu siapa?" bentak Pak Fredy.
"Nggak anu siapa-siapa pak." jawabku lagi.

Begitulah tanya jawab dengan Pak Fredy walau nggak dihukum berat cuma dinasehati aja agar tidak mendekati masalah dan membuat masalah di sekolah ini. Akhirnya aku pun meninggalkan ruangan kantor menuju kantin. Di sana aku melihat Andi, aku akan samperin Andi.

"Woi bencong, gaya kau lae." bentak seseorang yang tak ku kenal kepada Andi.
"Mau kau apa?" seru Andi kepada orang itu.
"Jauh kau dari sini, kami mau makan di sini." bentak orang itu lagi.

Aku memperhatikan keadaan dahulu, apa yang sedang terjadi. Sepertinya ini pereman kelas lain ya yang akan cari masalah. Aku tak ingin gegabah dan buat masalah yang tambah besar, tapi aku nggak akan biarkan orang-orang itu bertindak seenaknya terhadap Andi adek kesayanganku.

"Kan aku yang duluan duduk di sini, sukku lah." Andi bersikeras mempertahankan tempat duduknya.

Reno teman Andi masih bersama Andi, tapi kelihatannya sangat ketakutan atas apa yang sedang terjadi. Pengunjung kantin hanya menonton tak ada yang berani ikut campur masalah ini. Kenapa bisa begini? Apakah mereka juga pereman besar di sini? Aku nggak perduli kalau itu berkaian dengan Andi, harus diberantas.

Sebuah tinju melayang ke arah wajah Andi. Aku berlari untuk melindungi Andi, tapi jarakku terlalu jauh. OMG... Andi...

Tap...

Tinju itu pun ditangkap oleh seseorang.

"Anj..." orang itu menahan ucapannya.
"Dasar binatang kalian. Sekali kalian buat ribut di sekolahku ku keluarkan kalian." bentak seseorang berpostur tegap tinggi.

Orang berpostur tegap itu adalah.....

Kepala Sekolah.

"Sudah.... Bubar... Buaba.... Nggak ada tontonan. Masuk kalian semua ke kelas." bentak Pak Kepala sekolah.

Syukurlah aku tak gegabah kali ini, kalau tidak malah tambah parah masalahku. Kenapa bisa ada Pak Kepala Sekolah di sini ya? Tapi sudahlah, anggap aja ini hanya kebetulan semata. Aku samperin Andi yang sedang berjalan meninggalkan kantin bersama Reno teman akrabnya.

"An... Nggak apa kau?" tanyaku.
"Jangan sok sok khawatir kau bodat." jawab Andi sinis dan meninggalkanku.

"Ndi... Nggak boleh gitulah, ditanyain juga." terdengar suara Reno menasehati Andi akan sikapnya kepadaku.

Hemmmm.... Apa yang harus ku lakukan. Info ya? Aku akan cari ratu gosip yang mengetahui 1001 kabar seputaran sekolah ini dan aku sudah dapat info tentnag si ratu gosip, namanya Susi. Besok akan ku tanya tentang berita gosip seputaran sekolah ini. Hihihihi... Oke....

Next....



****

Jumat Barokah....

Sore Jumat yang cerah. Aku duduk termenung di kamarku.

"Bang.... Bang! Is... Pekak kali lah kupingnya. Dipanggilin dari tadi bukannya dengar." repet Andre.
"Eh... Kau ngapain di sini? Bukannya ketok pintu dulu." aku segera bangkit dari kasur empukku.
"Udah pekak... Ini kue dari mamak di kasi wak endut." Andre meletakkan sepiring kue aneka ragam dan beranjak dari kamarku.
"Ndre... Tunggu!" seruku.
"Apa lagi? Tadi aku kau usir." Andre berhenti dengan tatapan mata sinis.
"Mana pulak ku usir. Eh sinilah abang bilangin." panggilku.
"Nggak usah kau suruh aku yang aneh-aneh ya." seru Andre.
"Nggak lah. Jelek aja prasangkau kau itu." jawabku.

Andre pun duduk di sebelah Ari di kasurnya. Suasana yang tenang dengan cahaya mentari sore yang masuk ke dalam kamar dari celah dinding papan yang lapuk. Andre masih menunggu apa yang bakal ku ucapkan dan aku juga bingung apa yang harus ku lakukan.

"Entah apa, nggak jelas. Dah lah...." Andre kesal karena aku dari tadi diam saja tanpa bicara padanya.

Andre berdiri dari tempat duduknya tadi ingin meninggalkanku.

"Tunggu-tunggu! Bentar dulu lah." seru ku sambil menahan tangan Andre.
"Iya, tapi kau nggak jelas mau ngapain." seru Andre.
"Dah lah, aku mau mandi, dah sore." ketus Andre masih jengkel.
"Bentar... Ada mau minta tolong sama kau." pintaku.
"Bodoh lah... Langsung aja mau ngomong apa kont*l. Dari tadi nggak adanya bicaramu bebi." Andre ngamuk menatapku.

Duh... Makin serem aja nie bocah.

"Aku bisa nggak minta tolong besok kau ikut aku mengadakan penelitian?" pintaku ke Andre.
"Kok aku?" Andre kaget.
"Kan kau yang tau daerah-daerah sekitar sini, kalau aku yang berangkat nanti aku nyasar kalau sendirian." jelasku.
"Terus kalau kau nyasar mati kau?" tanya Andre masih jengkel.
"Lah... Orang minta tolong kok. Dah lah kalau kau nggak mau tolongin, aku cari orang lain aja." aku pun akhirnya ngambek menghadapi anak yang satu ini dengan sifat dan mulutnya yang rusak ini.

Andre berpikir untuk sejenak. Mungkin dia merasa bersalah dan mendatangiku. Andre berdiri tepat di hadapanku, aku menatapnya dari ujung kaki terus naik ke atas dan berhenti pada satu gundukan. Wew... Kayaknya gede... Waduh.... Nggak saatnya nie, aku pun terus menatap wajahnya dengan memasang wajah masih kesel.

"Jangan besok, aku mau main bola besok sore sama kawanku. Hari Minggu aja." seru Andre.
"Hemmmm...." oke lah.
"Dah lah, aku mau mandi." ketus Andre sambil meninggalkanku menuju pintu kamarku.
"Ikut Ndre...' seru ku.
"Is... Homo kau anj*ng." ketus Andre dengan wajah masam.

Tak...

Sebuah kepalan tinju mendarat di kepala Andre.

"Sakit kon......" Andre mengumpat tetapi ucapannya terhenti.
"Mau bilang apa kau?" bentak mamak Andre yang ternyata berada di depan pintu.

Andre kaget dan terdiam.

"Nggak ada sopan kau, bandal kali. Kok berantam aja kerjaan kau sama si Bernat? Tiap-tiap hari aku dilabrak mamaknya. *$^*((#%&** Y&%*%&**(  (^(%^$*(*&%" Andre diomelin mamaknya panjang lebar.
"Udah-udah Nde. Masalah anak-anaknya itu." aku menyabarkan mamak Andre yang marah besar.
"Iya bang, tapi nggak ada dipakenya otaknya. Capek aku ngomong sama dia nggak adanya didengarnya cakapku." seru mamak Andre kepadaku.

Andre pun pergi segera menuruni tangga dengan wajah yang sedih.

"Ndre... Mau kemana kau?" teriak mamak Andre.
"Sudah Nde, biar aku saja yang kejar. Nanti ku nasehati dia." seruku.
"Payah kali anak itu dibilangi bang, merengkel kali. Nggak tau lagi aku macam mana mendidik dia, kayak ginilah kalau besarkan anak sambil kerja. Bapaknya pun nggak ada tanggungjawabnya sikit pun." keluh mamak Andre.
"Iya Nde... Sabar Nde. Biar ku kejar Andre ya Nde." seruku.
Ya lah bang. Makasi kali aku sama abang ini lah, baek kali abang ini." ketus mamak Andre.
"Biasa aja Nde, kita kan harus saling tolong menolong."

Aku pun melihat kondisi sekitar. Aku mencari Andre yang tadi ku lihat wajahnya sangat kalut kayak orang putus cinta. Beugh... Kira-kira kemana anak ini ya, dah mau malam juga ini.

"Dek! Ada kau nampak di Andre?" tanyaku kepada salah seorang bocah yang umurnya sedikit di bawah Andre warga sekitar situ juga.
"Kayaknya lari ke situ dia bang." jawab bocah itu sambil menunjukkan ke arah sungai yang biasa juga dipakai warga untuk mandi dan mencuci.

Perlahan aku menyisiri tempat pemandian dan tempat orang mencuci, tapi nggak dapat. Malah aku dituduh mau ngintip cewek mandi, beugh... Hahahah... Salah tempat cari, kok malah cari ke bagian ibuk-ibuk.

Lelah mencari dan matahari sudah mulai bersembunyi di ufuk barat. Aku terduduk di tepian sungai sambil berpikir di mana lah keberadaan Andre. Perlahan aku mulai mendengar suara-suara aneh, tapi aku tidak mendapati sumber suara itu dari mana. Perlahan aku menyisiri tepian sungai dan aku menemukan makhluk hitam dengan suara aneh di sebuah rawa dekat sungai itu. Aku ingin berlari tapi ....

"Ah...."

Terdengar seperti suara orang mengaduh kesakitan dan suara itu nggak asing lagi, suara Andre.

Aku berlari dan terjun ke rawa tadi karena makhluk tadi adalah Andre yang berada di kubangan lumpur hitam itu.

"Ndre, kok bisa sampai di sini kau?" tanyaku sambil berusaha membersihkan Andre dari lumpur rawa.
"Aduh duh duh..." jawab Andre.

Kaki Andre terjepit sebuah dahan pohon yang terbenam di dasar rawa. Aku melepaskan kaki Andre perlahan. Setelah kaki Andre dapat terlepas aku membawa Andre ke tepian sungai yang dangkal untuk membersihkan tubuh dan pakaian Andre yang penuh lumpur.

"Kalau dah mau gelap jangan main ke sungai ya." ejekku sambil tersenyum melihat Andre.

Andre nggak perduli apa yang ku katakan, mungkin karena merasasa sakit pada bagian kakinya tadi.

"Kau bisa jalan Ndre?" tanyaku.

Andre pun berdiri dan sepertinya mengalai kesulitan.

"Sini naik!" seruku agar Andre naik ke pundakku.
"Males ah, aku jalan aja.... Duh duh duh...." Andre menolak dan paksakan jalan.
"Tuh lah, jangan dipaksa." seruku.

Akhirnya Andre ku gendong belakang pulang menuju kosatan. Baju kita sama dalam keadaan basah dan kotor, tapi syukur hari dah gelap dan tidak ada orang yang perhatikan kita.

"Kau kenapa Ndre?" tanyaku Andre yang berada di gendonganku.
"Si Bernatnya itu duluan, tapi mamakku selalu anak orang dibelainnya. Si Bernat pun sukak kali ngadu-ngadu, mulut mamaknya pun jabir kali. Sekampun tau kalau anaknya lecet sikit, padahal anaknya yang bandal. Itu lah bang aku benci kali nengok orang itu, mamkku juga sama aja." keluh Andre.
"Hus.... Nggak boleh gitu. Mamakmu niatnya baeknya, tapi mungkin caranya aja yang salah. Dah lah, kau kan dah besar jadi bisa berpikir." seruku.
"Iya bang, tapi jengkel kali aku." jawab Andre.
"Iya... Iya...." jawabku.

Andre melepaskan kesedihannya di pundakku. Aku tau kalau kali ini dia begitu hancur dan butuh seseorang untuk mendengar keluh kesahnya. Setiap orang punya masalah dan Andre inilah masalahnya, masalah dalam berteman dan bersama mamaknya. Yang sabar ya Ndre.

Setibanya di rumah kosatan.

"Andre... Kenapa kau?" tanya mamak Andre dengan nada keras.
"Nggak apa Nde, tapi kayaknya kakinya keseleo." jawabku sambil beri isyarat agar Nande nggak marahin Andre kali ini.

Mamak Andre pun paham maksudku dan sediakan perlengkpan mandi karena kita basah dan kumuh. Aku menggendong Andre ke sebuah bilik kamar mandi dan di sana sudah disediakan mamak Andre perlengkapan mandi dan baju ganti Andre. Perlahan aku menurunkan Andre dan aku mengisyaratkan Andre agar tunggu sebentar. Aku mencuci tangan dan kaki kemudian mengambil baju ganti di kamarku kemudian kembali ke kamar mandi tadi. Andre masih kesal sama mamaknya tan mamak Andre pun paham dan tidak marah lagi.

Perlahan aku tutup pintu kamar mandi dan keran air pun ku hidupkan. Andre masih termenung akan nasibnya yang terlihat apes. Aku merasa iba melihat Andre karena menurutku Andre nggak memiliki siapa-siapa yang bisa menjadi tempatnya untuk bersandar kalau ada masalah seperti ini. Aku berjanji akan memperlakuka Andre seperti adekku sendiri dan aku akan berusaha untuk menjaganya juga.

Andre...

________________________________________________

Mozaik berikutnya.

"Aku benci mamak!" Teriak Andre.
"Anak kurang ajarnya ini!" teriak mamak Andre.

Keadaan semakin panas antara mamak Andre dengan Andre.

"Tenang Nde... Andre hanya butuh waktu sendiri." jelasku.

"Aku nggak mau sama mamak." Andre merajuk.

Tidurlah di sisiku Ndre sampai hatimu menjadi tenang, aku akan menjaga kamu, aku janji.
KESATRIA PENJAGA (Mozaik 5)
Aku Akan Menjagamu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar