Hari Pertama
Pagi hari yang
memang bener-bener pagi. Suasana masih begitu gelap, akan tetapi di luaran
sudah begitu ramai hiruk pikuk pasar pagi. Aku bangun dan duduk di pinggir
ranjangku sambil mengucek-ngucik mata yang sebenarnya masih terasa sedikit
mengantuk. Dinginnya udara pagi menusuk tulangku, udara yang masuk dari
sela-sela dinding papan kostanku yang sudah reot menjadi penyebab dinginnya
kamar ini walau tanpa AC. Aku berjalan menuju saklar lampu yang berada di dekat
pintu masuk kamarku dalam keadaan masih menggunakan boxer. Cahaya terang lampu
kamarku mengusir kegelapan ini menandakan aku harus mengawali hariku ini.
"1,2,3,4,5,........,9,10"
"1,2,3,4,5,........,9,10"
Aku selalu push
up, shit up dan pul up setiap paginya. Aku tau, karena aku itu tinggal sendiri
dan ayah juga sendiri maka aku harus jaga bener kesehatan dan kebugaran tubuhku
ini.
Terlihat sebuh
surat pindah yang telah ku ambil dari sekolah awalku yang nanti ku pergunakan
untuk masuk ke sekolah yang baru, sekolah di mana ada seseorang yang harus ku
lindungi.
"Andi,
mulai hari ini aku akan menjagamu."
Melihat ke
selembar foto di atas meja belajarku yang lebih cocok disebut meja kerja
berantakan, karena banyak sekali bang barang elektronik rusak yang ku coba
perbaiki. Wajah sesosok remaja yang kira-kira umurnya 15 atau 16 tahun, seorang
adek yang tak pernah ku temui selama betahun-tahun. Aku berjanji akan
menjaganya.
****
Sehabis
olahraga dan menghirup udara pagi yang segar dari jendela kamarku yang terletak
di lantai 2, aku pun mempersiapkan sarapanku untuk hari ini dengan menanak nasi
di rice cooker lalu pergi mandi. Kamar mandi
terletak di lantai 1 bangunan kost, dan tidak ada di dalam kamar seperti di
rumahku. Tak masalah bagiku mandi di kamar mandi umum yang tak jarang juga madi
bareng penghuni kost yang lain yang kebanyakan adalah kuli atau karyawan pabrik
roti yang mungkin berada tak jauh dari tempatku tinggal. Di dalam kamar mandi
ada 3 bilik kamar mandi yang tak begitu luas dan satu bak panjang di luar yang berhadapan dengan 3 bilik kamar madi tersebut.
"Ngantri
ya mas?" tanya seseorang yang mungkin penghuni kostan tempatku juga.
Terdengar banget logat jawa khas orang pulau jawa.
Seorang pemuda
yang mungkin umurnya tak jauh dariku sekitaran umurku atau lebih muda dariku
sedikit, mungkin 16 atau 17 gitu. Meski tampak masih muda banget tapi tampak
otot-otot yang sixpack bak tahu kotak-kotak menghiasi perutnya. Badannya yang
sedikit legam kecoklatan membuatku paham kerasnya dunia ini. Pemuda tersebut
hanya mengenakan handuk usang merah yang terlihat tua dan lapuk dengan ada
beberapa robekan dan bolong di beberapa tempat. Dengan meninting timba kecil
yang berisikan peralatan mandi pemuda tersebut berdiri di sebelahku, sedangkan
aku mengenakan kaos lengan pendek, celana pendek yang di atas mata kaki sedikit
serta membawa handuk yang ku kalungkan di leherku dan tak lupa timba kecil
beserta sabunnya juga. Di terlihat dari handuk usang itu ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang tegak di pagi hari (erection morning). Kira-kira gimana bentuknya ya, jadi ingin tau.
"Iya
mas." jawabku singkat sambil cengar-cengir.
"Namanya
siapa mas?" tanya orang tersebut kepadaku.
"Ari mas.
Oktafiari Ari. Panggil aja Ari." jawabku sambil menyodorkan tanganku untuk
berjabat tangan.
"Iya mas
Ari. Saya Reza. Mas orang baru di sini ya?" orang itu memperkenalkan diri
sambil menjabat tanganku.
Terasa sekali
tangannya kasar akibat kerja yang sangat keras.
"Ya, baru
juga tiga hari di sini. Kenapa?" jawabku sambil menanya balik dengan logat
khas Medan.
"Nggak, nggak
apa mas. Maaf." jawab Reza sambil tertunduk malu.
Hahahaha...
Kayaknya si Reza kira aku marah karena dia kepoin aku. Setelahnya kita
bercerita ringan seputaran kehidupan ini sembari menunggu antrian untuk mandi.
Kita pun berbicara mencairkan suasana dan akhirnya kita kebagian jatah bilik
untuk mandi juga. Setelah mandi aku kembali ke kamarku untuk lanjut buat
sarapan dan beres beres kamar sebelum berangkat sekolah.
****
****
Bezzzzzzt.....
Bezzzzzzt.....
Bezzzzzzt.....
Suara hp ku bergetar.
Dan sekarang sudah sekitaran jam 6 pagi.
"Halo...
Abang sudah bangun?"
"Sudah
yah."
"Abang
lagi apa?"
"Lagi buat
sarapan yah."
"Anak ayah
kenapa pilih pindah sekolah sih? Jadi ngekost sendiri? Emang mau cari apa di
sekolah barunya di situ?"
"Nggak apa
yah, abang mau cari suasana baru aja yah. Abang ingin bisa mandiri. Sudah dulu
ya yah! Abang mau siap-siap, terus sarapan, kan nggak enak hari pertama masuk
sekolah telat."
"Iya-iya,
abang jaga diri disana ya! Baik-baik. Kalau ada butuh apa, telpon ayah aja
ya."
Oh ya , namaku
Ari, Oktafiari Ari. Sekarang aku duduk di kelas X SMA, walau umurku sudah lewat
2 tahun. Dulu aku pernah masuk SMK jurusan otomotif dan itu sebenarnya memang
hobiku untuk kutak-katik mesin. Ayahku duda setelah bercerai dengan ibu sejak
aku masih kecil dan ayah juga memiliki usaha bengkel mobil. Ayah mendidikku
dengan keras tapi ayah orangnya sangat peduli dan menyayangiku. Untuk sekarang,
hanya aku lah yang dimilikinya. Aku berjanji akan menyatukan keluarga ini
kembali.
****
Sudah jam 7
pagi dan aku pun siap untuk berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda
motorku, sepeda motor kijang klasik khas tahun 90-an. Aku mengeluarkan sepeda
motorku dari tempat penyimpanan yang terletak di lantai 1, sebut aja sepeda
motorku itu si Zaki. Bersama Zaki aku selalau menyusuri jalan demi mencari info
tentang adikku dan kini aku telah menemukannya. Hari ini adalah hari pertamaku
masuk sekolah dan aku berharap bisa berteman baik dengan adikku. Aku sudah
tidak sabar lagi untuk bertemu dengan adikku yang telah lama tak berjumpa, kini
tinggal beberapa saat lagi untukku agar aku bisa menatap wajahnya secara
langsung. Kira-kira sama nggak ya dengan yang ada di foto? Apa pun itu aku akan
menjaganya kelak.
Segarnya udara
pagi menerpa tubuh ini saat ku susuri jalanan ke sekolahku. Menembus sedikit
kemacetan kota dan melintasi kawasan perumahan polisi yang banyak peponan yang
rindang di sepanjangan jalan. Udara pagi yang masih asri sungguh menyegarkan
jiwa dan pikiran ini. Jarak antara kostanku dengan sekolah mungkin sekitaran 20
menit dengan menggunakan sepeda motor.
****
Sesampainya di
sekolah aku parkirkan Zaki di parkiran motor yang terletak di sebelah kantor
satpam yang bersebelahan dengan gerbang masuk. Aku ditanyai oleh satpam karena
sebenarnya seragamku itu tak sama dengan seragam sekolah itu karena masih
menggunakan seragam sekolahku yang dahulu dan belum mendapatkans eragam sekolah
dari sekolahku yang baru ini. Setelah menjelaskan perihalku, aku diantarkan
satpam menuju ruang guru. Di sana aku duduk menunggu wali kelasku yang baru,
mungkin ada semacam beberapa prosedur dan administrasi yang harus di
selesaikan. Bel masuk terdengar dan aku masih menanti wali kelasku, cukup lama.
Jenuh dan bosan mulai melanda, tapi ini adalah krikil kecil ketimbang
pencarianku selama ini.
Setelah cukup
lama menanti, akhirnya seseorang pria berpostur tegap berkacamata
menghampiriku. Dari perbincangan kita, dialah yang akan menjadi wali kelasku.
Wali kelas, kelas X A. Beliau adalah guru olah raga sekaligus pengajar ekskul
karate di sekolah ini. Kenapa aku masuk kelas X A? Karena mungkin nilaiku itu
mencukupi untukku duduk di sana bersama yang lainnya.
"Oktafiari
Ari, kenapa lah kau pindah ke sini? Sekolah lama kau itu kan mantap?" tanya
guru tersebut dengan logat Medan-nya.
"Nggak apa
pak, cuma mau cari suasana baru aja." jawabku sambil cengar cengir.
"Bah,
berarti kau bandal. Ada bikin masalah kau di sana kan?" tanya guru itu
lagi.
"Nggak lah
pak, kan dapat surat rekomendasi. Mana bisa kalau bandal dapat surat
rekomendasi." jawabku dengan sedikit senyum terpaksa.
"Awas lah
kau buat masalah nanti di kelasku, habis kau ku buat." bisik guru tersebut
kepadaku.
Aku hanya
tersenyum kaku aja mendengar ucapan guru ini. Njir... Gurunya killer-killer,
bisa mampus aku. Terus kenapa si Andi malah sekolah di sini ya? Ini lebih mirip
tempat rehabilitas preman, gawat.
"Pak Fred,
janganlah kejam kali sama murid kita. Tengoklah, jadi takut dia." sahut
seorang guru wanita yang umurnya sekitar 40an dengan postur tubuh agak berisi
dan tidak begitu langsing. Dari bed namanya tertera nama guru tersebut adalah
buk Lala.
"Hahahaha...
Nggak lah buk, becandanya aku." tawa pak guru yang bersamaku sambil nenpuk-nepuk
pundakku dan nama guru tersebut adalah Fredy.
Syukurlah,
suasana kantor telah menjadi tenang tak setegang tadi. Pak Fredy telah berdiri
di samping kiriku yang sedang duduk di depan meja kerjanya di kantor guru.
"Dah kau
ambil seragammu?" tanya Pak Fredy.
"Belum
pak." jawabku.
"Sinilah
ikut sama bapak, kau bawa bukti administrasimu itu." seru Pak Fredy.
Aku mengikuti
Pak Fredy menuju suatu ruangan yang tertera tulisan di atas pintunya
"Ruang Logistik". Di sana aku diberi seragam yang disesuaikan dengan
ukuran baju dan celanaku dan di sana ada seorang pegawai yang menjaga bagian
logistik. Aku mendapatkan seragam putih abu-abu satu stel dan seragam batik
satu stel, seragam pramuka satu stel, seragam olahraga satu stel, dasi, topi
dan atribut sekolah.
"Hari
Selasa dan Kamis pakai yang batik, Jumat-Sabtu pakai pramuka, Senin dan Rabu
pakai yang abu-abu." jelas pegawai logistik.
Aku pun
menganggukkan kepalaku tanda paham.
"Kalau
bisa cepat kau pasang simbolnya." tambah bapak itu.
"Iya pak."
jawabku.
Setelah
memasukkan sragam-seragam itu ke tasku yang jumlahnya cukup banyak, selanjutnya
aku dan pak Fredy pergi ke ruangan kelas X A di mana Andi berada. Pak Fredy
pun mengetuk pintu kelas dan memohon izin masuk kepada guru yang sedang mengajar.
"Silahkan
pak." seorang guru wanita yang terlihat masih muda mempersilahkan kami
memasuki ruangan kelas.
Pak Fredy pun
segera masuk ke dalam ruang kelas dan aku pun mengikutinya dari belakang.
"Anak-anak
bapak, kita ada kedatangan teman baru. Bapak harap kalian bisa berteman dan
akrab." dengan lantang dan tegas berbicara di hadapan para muridnya tak
seperti saat bersamaku suka bercandaan tadi.
Sepertinya Pak
Fredy termasuk guru yang dihormati dan disegani murid-muridnya. Seorang guru
harus bisa menempatkan posisinya di mana harus serius dan di mana harus
bercanda. Salut aku nengok bapak yang satu ini. Selanjutnya aku memperkenalkan
diriku di hadapan teman-teman baruku.
"Perkenalkan! Namaku Ari, Oktafiari Ari." dengan lantang dan
tegas aku memperkenalkan diriku.
Satu-persatu aku perhatikan wajah teman-teman baruku dan menscan yang mana
Andi di antara mereka semua. Dan Akhirnya ku dapati seseorang yang terlihat
seperti foto yang ku dapat dari informanku.
Andi Hermawan...
Entah bagaimana aku mengungkapkan bahagianya hatiku setelah sekian tahun
lamanya aku akhirnya bisa bertemu dengan adikku yang sangat aku rindukan.
Melihatnya saja aku sudah hampir meleleh, terimakasih ya Allah Andi
kelihatannya sehat dan sudah tambah besar dari sejak terakhir ku bersamanya.
Tapi Andi kelihatannya sangat cuek tentang ke hadiranku, mungkin dia lagi
mendapatkan sedikit problem remajanya. Aku haru segera mengakrabkan diri
dengannya.
"Ari, kamu nggak apa kan duduk di bangku no. 2 dari belakang di pojok
itu kan?" tanya bu guru.
"Iya buk nggak apa." sambil tersenyum lebar aku berjalan menuju
kursiku seperti yang dibilang bu guru.
Aku ingin sekali mendekati Andi, tapi sekarang masih jam pelajaran dan aku
nggak ingin merusak jam pelajaran bu guru dengan acara temu kasih ini yang
menemukan dua saudara yang telah lama berpisah. Pagi ini belajar biologi
bersama Buk Novita, guru yang terbilang cukup cantik menurutku. Wajah bu guru
yang putih bersih, badannya yang ramping dengan senyum yang bisa bikin suasana
jadi tenang. Sepertinya Buk Novita belum lama selesai kuliah dan mengabdi di
sekolah ini kalau di lihat dari tampilannya yang bener-bener muda dan gayanya
yang enerjik.
Ketika aku berjalan menuju tempat dudukku aku dijegal oleh seseorang yang
duduknya itu tepat di kusi depan mejaku aku pun hampir jatuh dan tersungkur.
Suasana menjadi riuh dengan tertawa dan ledekan anak-anak berandalan. Memang
lah orang ini cingkal kali. Ternyata ada beberapa murid yang mungkin bisa
sedikit dikasi les tambahan nanti.
"Hahahaha... Jalan pake mata kau. Nyari apa kau? Nyari kodok?"
ledek brandalan yang menjegalku tadi.
Badannya cukup besar dengan tampang sangar berkulit agak cokelat, mungkin
dia adalah penunggu kelas ini. Tak kusangka di kelas yang notabenya kelas
unggulan masih ada juga orang seperti ini. Ya mungkin dia itu juga punya
kelebihan sehingga dia masuk kelas A.
"Sudah, sudah.... Jangan main-main." buk Novita ingin menyudahi
keributan ini, tapi sepertinya Buk Novita masih kurang bisa dalam pengendalian
kelas mungkin karena masih kurangnya pengalaman.
Aku terdiam saja dan segera duduk di kursiku. Anak berandalan itu terlihat
bangga bisa menjahiliku di tengah jam pelajaran seperti ini. Aku tak ingin
membuat keadaan semakin mencekam, aku pilih untuk bungkam dan melanjutkan
kebahagiaanku yang tadi. Terlihat Andi masih saja terlihat merasakan kebosanan
di dalam kelas ini.
****
Di jam istirahat aku dengan wajah penuh maksud bertabur kegembiraan
mendatangi Andi.
"Andi…" aku menyebut namanya seolah-olah sudah sangat akrab gitu.
"Aku boleh duduk di sini ?" tanyaku kepada Andi sambil
menunjukkan tangannya ke kursi kosong di sebelahnya di jam istirahat.
"Eh, anak baru! Kalau mau duduk, duduk aja. Tau dari mana namaku?
Jangan jadi sok akrab ya samaku!" jawab Andi dingin padanku tanpa
memperhatikan wajahku.
Untuk beberapa saat, Aku masih berdiri saja di samping Andi. Andi pun
mengangkat kepalanya dan melihat raut wajahku. Sorot mataku berubah menjadi
sangat tajam dengan senyum simpul yang mengerikan. Andi menjadi bengong melihat
tatapan mataku yang tajam karena aku baru saja mengalami momen yang hancurkan
rasa kagumku tadi. Ini orang nggak ada sopan-sopannya sama abang sendiri.
Sebuah tinju mendarat di kepalanya, aku menjitak kepalanya walau tidak dengan
kekuatan full untuk mengungkapkan jengkelku padanya. Aku merangkulnya seraya
berkata...
"Jadi kau nggak senang aku duduk di sini ya?" tanyaku dengan
membisikkan di telinganya.
Andi diam terpaku tak mengucapkan sepatah kata pun. Detak jantungnnya ku
rasakan berdetak lebih cepat.
"Nah, gitu kan enak. Anteng." ujarku sambil cubit pipinya.
Aku pun berdiri beranjak meninggalkan Andi. Tapi dengan tiba-tiba ada yang
colek pundakku, aku pun membalikkan badan dan....
"Buk...." sebuah pukulan mendarat di wajahku tak dapat ku
hindari.
Serangan membabibuta pun terarah padaku dan aku dapat menahan
serangan-serangan itu. Andi, dia sepertinya marah padaku. Walau seranagnnya
bisa ku patahkan semuanya, tapi sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini.
"Hahahaha... Pukul terus! Anak baru lawan lah!" tampak seseorang
teriak seru melihat kegaduhan ini.
Terdengar riuh juga dari penghuni kelas yang lain. Aku nggak bisa konstrasi
memikirkan semua ini sambil bertahan. Tidak bisa aku terus bertahan kalau
begini. Aku pun mulai mematahkan kuda-kuda Andi sehingga tubuhnya oleng tapi
aku menahan tubuhnya dengan memegang bajunya sehingga tidak terhempas ke lantai
dan tangan kananku mengepalkan tinju ke lantai melewati antara pundak dan
telinga kanannya. Andi pun terdiam melongo melihat wajahku.
"Duh... meleset?" gumamku yang tinjuku sudah sampai di lantai.
Tak sedikit pun kata keluar dari mulut Andi meski dari raut wajahnya
tersirat kekesalan yang sangat mendalam, seolah-olah dia berkata "Awas
kau, tengoklah nanti kau ya." hahaha... Begitu mungkin kira-kira.
"Bagus.... Bagus..." terdengar suara dari balik kerumunan
teman-temanku yang menyaksikan keributan ini.
Pak Fredy tiba-tiba muncul dan para murid langsung bubar menjauh dari kami.
Aku pun membantu Andi untuk bangkit tapi Andi menepis bantuanku dan segera
bangkit. Aku punya firasat bakal ada sesuatu yang buruk yang akan menimpaku
kali ini.
"Dah siap kelen berantam? Kok berenti kelen? Lanjutlah, aku belun
nengok tadi." suara Pak Fredy
memecah keriauhan yang terjadi.
"Eh... Enggak pak. Anu tadi...." aku ngomong terbata-bata.
"Apa kau bilang? Jelas sikit kau becakap. Laki nya kau?" bentak pak
Fredy.
"Iya pak, maaf. Tadi kan...." jawabku bingung dengan jantung deg
degan. Hari pertama masuk yang luar biasa.
"Kalian abang adek aja berantam. Jelaskan di kantor!" seru Pak
Fredy.
"Apa pak? Abang adek? Siapa yang abang adek? Najis abang adek sama dia." ketus Andi, tapi
tak digubris Pak Fredy yang pergi meninggalkan kami dengan tatapan tajam.
Aku dan Andi pergi mengikuti Pak Fredy ke kantor guru. Masalah di hari
pertama masuk sekolah, sungguh keren. Andi terlihat menatapku dengan tatapan
mata yang sinis, tapi aku tetap saja cengar-cengir membalas tatapannya itu.
Kita berdua di sidang di kantor guru.
"Kan dah ku bilang kau jangan buat masalah di kelasku!" bentak Pak
Fredy kepadaku. Aku hanya tertunduk saja tanpa kata.
"Kau juga Andi, mau ku telpon mamakmu sekarang?" tanya Pak Predy
kepada andi dengan nada keras.
"Ja... Jangan pak. Jangan kasi tau bunda saya." sepontan Andi
menjawab pertanyaan Pak Fredy dengan nada terkejut.
"Kalian itu dah besar, tapi kayak anak-anak ku tengok kayak anak SD.
Tau kelen anak SD, tau kelen!" bentak Pak Fredy lagi.
Andi menatapku sinis seolah ingin menerkamku. Aku hanya terdiam dan
tersenyum kepadanya.
"Mata kau! Mau kelen lanjut lagi berantamnya? Nggak puas kelen? Lanjut
lah! Belum nengok aku tadi." bentak Pak Fredy lagi.
Andi pun tertunduk layu tak berani berbuat yang aneh-aneh lagi. Pak Fredy
meninggalkan kami berdua di kantor guru, mungkin masih ada kerjaannya atau jam
ngajarnya. Andi terlihat gelisah dan kesel untuk melewati harinya hari ini. Aku
jadi nggak enak mengacaukan harinya di hari pertamaku masuk ke kelasnya.
"Andi...." tegurku.
"Apa........?" tanya Andi dengan nada sewot.
"Maaf ya." pintaku memelas penuh harap agar Andi mau akrab
denganku.
"Enggak.... Enggak akan ku maafkan kau bodat. Mau kau apa nya? Baru
masuk dah petentengan, gilak lah kau." seru Andi marah.
"Ya itu... Maaf lah." pintaku lagi.
"Enggak... Sampai kapan pun nggak mau aku maaf kan kau. Jijik aku
nengok mukak kau itu." Andi masih kesal padaku.
Sepertinya bakal sulit untuk membujuk Andi. Oke deh, aku akan buat dia
semakin jenuh dan memohon padaku untuk baik padanya. Bendera perang sudah
dikibarkan, ku terima tantangan ini. Aku nggak akan membencimu, tapi aku akan
sedikit membuat hari-harimu penuh dengan warna. Lihatlah, rasa sayangku akan
melunturkan keangkuhanmu.
"Nyah... Kelen isi dulu surat itu!" Pak Fredy menyodorkan kepada
masing-masing kami surat perjanjian untuk tidak berbuat maslaah lagi.
"Sekali lagi kelen buat masalah di sekolah ini, ku panggil orang tua
kalian." seru Pak Fredy.
"Jangan pak!" seruku dan Andi serempak tanda tak setuju.
"Makanya kelen jangan cari masalah." bentak Pak Fredy lagi.
Setelah panjang lebar di sidang di kantor guru, akhirnya aku dan Andi
dipersilahkan kembali ke kelas. Perasaanku kacau dan jadi serba nggak enak.
Pengalaman pertama yang sungguh luar biasa, di luar eskpektasi.
"Woi... Mantap kali pertarungan kalian bah. Dah kayak di pilim-pilim
di tv itu. Apa namanya? The Red... Yang berantam-berantam gitu. Tapi gaya kau
kayak bencong, mukul aja kayak banci minta dikent*t. Potong aja kont*l kau itu.
Hahahaha...." cibir orang yang sama yang buat masalah dari pertama aku
masuk ke kelas, si pereman kelas.
Dia adalah Danu anak ketua yayasan sekolah ini, pantas aja seenaknya buat
onar tanpa masalah dan takut guru. Orang kayak ginilah yang sebenarnya menjadi
musuh yang nyata di sekolah, seseorang yang kebal hukum di sekolah ini.
"Anak baru, jago juga kau ya. Bisa lah aku nanti berguru samamu,
mantap kali tadi ku tengok. Tapi jadi guru masak, hahahaha...." ledek Danu
kepadaku.
Aku tak menghiraukan apa yang telah diucapkan Danu, tapi aku sebenarnya tak
kuasa melihat Andi dihina seperti ini. Sepertinya aku punya tugas baru dan misi
pertamaku adalah menghilangkan penghalang di kelas ini. Mungkin misi pertamaku
akan berkaitan dengan Danu, aku harus lebih mengenal siapa sebenarnya Danu dan
kenapa orang seperti dia ada di muka bumi ini.
Selanjutnya pelajaran pun berlangsung dengan normal walau aku sudah
kehilangan waktu belajarku untuk pelajaran 1 dan 2 karena kebanyakan di kantor
karena masalah, tapi itulah salam perkelana dariku. Perjalanan ini masih
panjang, juga baru berjalan sehari di sekolah ini. Setelah jam pelajaran usai
terlihat Andi terburu-buru untuk meninggalkan kelas. Aku ingin mengejarnya,
tapi sepertinya lebih baik untuk memberikan sedikit waktu Andi untuk
beradaptasi dengan kehadiranku di kehidupannya. Aku putuskan untuk pulang sendiri dengan mengendarai Zaki si sepeda motor kijangku. Melintasi jalan yang
agak sepi dan ada perlintasan kereta api tanpa pintu, memasuki jalan kebun
sawit setelah perlintasan kereta api tadi. Tiba-tiba lintasanku dihadang beberapa
orang, dan di sana ada Danu yang sedang menungguku. What.....???
Bersambung....
_________________________________
Mozaik berikutnya.
Pertarungan antara aku dan Danu pun tak bisa dihindari. Danu beserta
kawan-kawannya mencegatku di sebuah jalanan yang sepi di dekat perlintasan
kereta api. Aku berusaha menghindari kegaduhan ini tapi aku tak bisa lepas dari
cengkraman Danu dan teman-temannya. Sampai kapan aku bertahan tanpa melawan
mereka, tapi kalau aku mati di sini tidak ada yang bakal melindungi Andi di
sekolah.
Danu sangat terobsesi sekali untuk menghajarku, dan kini aku berada di
kerumunan mereka. Jumlah mereka ada 4 orang dan 2 orang aku tidak mengenalinya
mungkin dari kelas yang lain sedangkan yang seorang lagi teman kelasku juga.
Sesekali tinju mereka berhasil juga menerobos pertahananku dan kedua lenganku
pun dikunci mereka.
"Danu... Awas!" teriakku.
Aku pun menendang kedua orang yang memegangi tanganku membebaskan diri
kemudian berlari melompat ke arah Danu. Kereta api melintas........
KESATRIA PENJAGA (Mozaik 2)
Gorila Tiger
_________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar