Sabtu, 24 Februari 2018

KESATRIA PENJAGA (Mozaik 1)


Hari Pertama


Pagi hari yang memang bener-bener pagi. Suasana masih begitu gelap, akan tetapi di luaran sudah begitu ramai hiruk pikuk pasar pagi. Aku bangun dan duduk di pinggir ranjangku sambil mengucek-ngucik mata yang sebenarnya masih terasa sedikit mengantuk. Dinginnya udara pagi menusuk tulangku, udara yang masuk dari sela-sela dinding papan kostanku yang sudah reot menjadi penyebab dinginnya kamar ini walau tanpa AC. Aku berjalan menuju saklar lampu yang berada di dekat pintu masuk kamarku dalam keadaan masih menggunakan boxer. Cahaya terang lampu kamarku mengusir kegelapan ini menandakan aku harus mengawali hariku ini.

"1,2,3,4,5,........,9,10"
"1,2,3,4,5,........,9,10"

Aku selalu push up, shit up dan pul up setiap paginya. Aku tau, karena aku itu tinggal sendiri dan ayah juga sendiri maka aku harus jaga bener kesehatan dan kebugaran tubuhku ini.

Terlihat sebuh surat pindah yang telah ku ambil dari sekolah awalku yang nanti ku pergunakan untuk masuk ke sekolah yang baru, sekolah di mana ada seseorang yang harus ku lindungi.

"Andi, mulai hari ini aku akan menjagamu."

Melihat ke selembar foto di atas meja belajarku yang lebih cocok disebut meja kerja berantakan, karena banyak sekali bang barang elektronik rusak yang ku coba perbaiki. Wajah sesosok remaja yang kira-kira umurnya 15 atau 16 tahun, seorang adek yang tak pernah ku temui selama betahun-tahun. Aku berjanji akan menjaganya.

****

Sehabis olahraga dan menghirup udara pagi yang segar dari jendela kamarku yang terletak di lantai 2, aku pun mempersiapkan sarapanku untuk hari ini dengan menanak nasi di rice cooker lalu pergi mandi. Kamar mandi terletak di lantai 1 bangunan kost, dan tidak ada di dalam kamar seperti di rumahku. Tak masalah bagiku mandi di kamar mandi umum yang tak jarang juga madi bareng penghuni kost yang lain yang kebanyakan adalah kuli atau karyawan pabrik roti yang mungkin berada tak jauh dari tempatku tinggal. Di dalam kamar mandi ada 3 bilik kamar mandi yang tak begitu luas dan satu bak panjang di luar yang berhadapan dengan 3 bilik kamar madi tersebut.

"Ngantri ya mas?" tanya seseorang yang mungkin penghuni kostan tempatku juga. Terdengar banget logat jawa khas orang pulau jawa.

Seorang pemuda yang mungkin umurnya tak jauh dariku sekitaran umurku atau lebih muda dariku sedikit, mungkin 16 atau 17 gitu. Meski tampak masih muda banget tapi tampak otot-otot yang sixpack bak tahu kotak-kotak menghiasi perutnya. Badannya yang sedikit legam kecoklatan membuatku paham kerasnya dunia ini. Pemuda tersebut hanya mengenakan handuk usang merah yang terlihat tua dan lapuk dengan ada beberapa robekan dan bolong di beberapa tempat. Dengan meninting timba kecil yang berisikan peralatan mandi pemuda tersebut berdiri di sebelahku, sedangkan aku mengenakan kaos lengan pendek, celana pendek yang di atas mata kaki sedikit serta membawa handuk yang ku kalungkan di leherku dan tak lupa timba kecil beserta sabunnya juga. Di terlihat dari handuk usang itu ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang tegak di pagi hari (erection morning). Kira-kira gimana bentuknya ya, jadi ingin tau.

"Iya mas." jawabku singkat sambil cengar-cengir.
"Namanya siapa mas?" tanya orang tersebut kepadaku.
"Ari mas. Oktafiari Ari. Panggil aja Ari." jawabku sambil menyodorkan tanganku untuk berjabat tangan.
"Iya mas Ari. Saya Reza. Mas orang baru di sini ya?" orang itu memperkenalkan diri sambil menjabat tanganku.

Terasa sekali tangannya kasar akibat kerja yang sangat keras.

"Ya, baru juga tiga hari di sini. Kenapa?" jawabku sambil menanya balik dengan logat khas Medan.
"Nggak, nggak apa mas. Maaf." jawab Reza sambil tertunduk malu.

Hahahaha... Kayaknya si Reza kira aku marah karena dia kepoin aku. Setelahnya kita bercerita ringan seputaran kehidupan ini sembari menunggu antrian untuk mandi. Kita pun berbicara mencairkan suasana dan akhirnya kita kebagian jatah bilik untuk mandi juga. Setelah mandi aku kembali ke kamarku untuk lanjut buat sarapan dan beres beres kamar sebelum berangkat sekolah.

****

Bezzzzzzt.....
Bezzzzzzt.....
Bezzzzzzt.....

Suara hp ku bergetar. Dan sekarang sudah sekitaran jam 6 pagi.

"Halo... Abang sudah bangun?"
"Sudah yah."
"Abang lagi apa?"
"Lagi buat sarapan yah."
"Anak ayah kenapa pilih pindah sekolah sih? Jadi ngekost sendiri? Emang mau cari apa di sekolah barunya di situ?"
"Nggak apa yah, abang mau cari suasana baru aja yah. Abang ingin bisa mandiri. Sudah dulu ya yah! Abang mau siap-siap, terus sarapan, kan nggak enak hari pertama masuk sekolah telat."
"Iya-iya, abang jaga diri disana ya! Baik-baik. Kalau ada butuh apa, telpon ayah aja ya."

Oh ya , namaku Ari, Oktafiari Ari. Sekarang aku duduk di kelas X SMA, walau umurku sudah lewat 2 tahun. Dulu aku pernah masuk SMK jurusan otomotif dan itu sebenarnya memang hobiku untuk kutak-katik mesin. Ayahku duda setelah bercerai dengan ibu sejak aku masih kecil dan ayah juga memiliki usaha bengkel mobil. Ayah mendidikku dengan keras tapi ayah orangnya sangat peduli dan menyayangiku. Untuk sekarang, hanya aku lah yang dimilikinya. Aku berjanji akan menyatukan keluarga ini kembali.



****

Sudah jam 7 pagi dan aku pun siap untuk berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda motorku, sepeda motor kijang klasik khas tahun 90-an. Aku mengeluarkan sepeda motorku dari tempat penyimpanan yang terletak di lantai 1, sebut aja sepeda motorku itu si Zaki. Bersama Zaki aku selalau menyusuri jalan demi mencari info tentang adikku dan kini aku telah menemukannya. Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah dan aku berharap bisa berteman baik dengan adikku. Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan adikku yang telah lama tak berjumpa, kini tinggal beberapa saat lagi untukku agar aku bisa menatap wajahnya secara langsung. Kira-kira sama nggak ya dengan yang ada di foto? Apa pun itu aku akan menjaganya kelak.

Segarnya udara pagi menerpa tubuh ini saat ku susuri jalanan ke sekolahku. Menembus sedikit kemacetan kota dan melintasi kawasan perumahan polisi yang banyak peponan yang rindang di sepanjangan jalan. Udara pagi yang masih asri sungguh menyegarkan jiwa dan pikiran ini. Jarak antara kostanku dengan sekolah mungkin sekitaran 20 menit dengan menggunakan sepeda motor.

****

Sesampainya di sekolah aku parkirkan Zaki di parkiran motor yang terletak di sebelah kantor satpam yang bersebelahan dengan gerbang masuk. Aku ditanyai oleh satpam karena sebenarnya seragamku itu tak sama dengan seragam sekolah itu karena masih menggunakan seragam sekolahku yang dahulu dan belum mendapatkans eragam sekolah dari sekolahku yang baru ini. Setelah menjelaskan perihalku, aku diantarkan satpam menuju ruang guru. Di sana aku duduk menunggu wali kelasku yang baru, mungkin ada semacam beberapa prosedur dan administrasi yang harus di selesaikan. Bel masuk terdengar dan aku masih menanti wali kelasku, cukup lama. Jenuh dan bosan mulai melanda, tapi ini adalah krikil kecil ketimbang pencarianku selama ini.

Setelah cukup lama menanti, akhirnya seseorang pria berpostur tegap berkacamata menghampiriku. Dari perbincangan kita, dialah yang akan menjadi wali kelasku. Wali kelas, kelas X A. Beliau adalah guru olah raga sekaligus pengajar ekskul karate di sekolah ini. Kenapa aku masuk kelas X A? Karena mungkin nilaiku itu mencukupi untukku duduk di sana bersama yang lainnya.

"Oktafiari Ari, kenapa lah kau pindah ke sini? Sekolah lama kau itu kan mantap?" tanya guru tersebut dengan logat Medan-nya.
"Nggak apa pak, cuma mau cari suasana baru aja." jawabku sambil cengar cengir.
"Bah, berarti kau bandal. Ada bikin masalah kau di sana kan?" tanya guru itu lagi.
"Nggak lah pak, kan dapat surat rekomendasi. Mana bisa kalau bandal dapat surat rekomendasi." jawabku dengan sedikit senyum terpaksa.
"Awas lah kau buat masalah nanti di kelasku, habis kau ku buat." bisik guru tersebut kepadaku.

Aku hanya tersenyum kaku aja mendengar ucapan guru ini. Njir... Gurunya killer-killer, bisa mampus aku. Terus kenapa si Andi malah sekolah di sini ya? Ini lebih mirip tempat rehabilitas preman, gawat.

"Pak Fred, janganlah kejam kali sama murid kita. Tengoklah, jadi takut dia." sahut seorang guru wanita yang umurnya sekitar 40an dengan postur tubuh agak berisi dan tidak begitu langsing. Dari bed namanya tertera nama guru tersebut adalah buk Lala.
"Hahahaha... Nggak lah buk, becandanya aku." tawa pak guru yang bersamaku sambil nenpuk-nepuk pundakku dan nama guru tersebut adalah Fredy.

Syukurlah, suasana kantor telah menjadi tenang tak setegang tadi. Pak Fredy telah berdiri di samping kiriku yang sedang duduk di depan meja kerjanya di kantor guru.

"Dah kau ambil seragammu?" tanya Pak Fredy.
"Belum pak." jawabku.
"Sinilah ikut sama bapak, kau bawa bukti administrasimu itu." seru Pak Fredy.

Aku mengikuti Pak Fredy menuju suatu ruangan yang tertera tulisan di atas pintunya "Ruang Logistik". Di sana aku diberi seragam yang disesuaikan dengan ukuran baju dan celanaku dan di sana ada seorang pegawai yang menjaga bagian logistik. Aku mendapatkan seragam putih abu-abu satu stel dan seragam batik satu stel, seragam pramuka satu stel, seragam olahraga satu stel, dasi, topi dan atribut sekolah.

"Hari Selasa dan Kamis pakai yang batik, Jumat-Sabtu pakai pramuka, Senin dan Rabu pakai yang abu-abu." jelas pegawai logistik.

Aku pun menganggukkan kepalaku tanda paham.

"Kalau bisa cepat kau pasang simbolnya." tambah bapak itu.
"Iya pak." jawabku.

Setelah memasukkan sragam-seragam itu ke tasku yang jumlahnya cukup banyak, selanjutnya aku dan pak Fredy pergi ke ruangan kelas X A di mana Andi berada. Pak Fredy pun mengetuk pintu kelas dan memohon izin masuk kepada guru yang sedang mengajar.

"Silahkan pak." seorang guru wanita yang terlihat masih muda mempersilahkan kami memasuki ruangan kelas.

Pak Fredy pun segera masuk ke dalam ruang kelas dan aku pun mengikutinya dari belakang.

"Anak-anak bapak, kita ada kedatangan teman baru. Bapak harap kalian bisa berteman dan akrab." dengan lantang dan tegas berbicara di hadapan para muridnya tak seperti saat bersamaku suka bercandaan tadi.

Sepertinya Pak Fredy termasuk guru yang dihormati dan disegani murid-muridnya. Seorang guru harus bisa menempatkan posisinya di mana harus serius dan di mana harus bercanda. Salut aku nengok bapak yang satu ini. Selanjutnya aku memperkenalkan diriku di hadapan teman-teman baruku.

"Perkenalkan! Namaku Ari, Oktafiari Ari." dengan lantang dan tegas aku memperkenalkan diriku.

Satu-persatu aku perhatikan wajah teman-teman baruku dan menscan yang mana Andi di antara mereka semua. Dan Akhirnya ku dapati seseorang yang terlihat seperti foto yang ku dapat dari informanku.

Andi Hermawan...

Entah bagaimana aku mengungkapkan bahagianya hatiku setelah sekian tahun lamanya aku akhirnya bisa bertemu dengan adikku yang sangat aku rindukan. Melihatnya saja aku sudah hampir meleleh, terimakasih ya Allah Andi kelihatannya sehat dan sudah tambah besar dari sejak terakhir ku bersamanya. Tapi Andi kelihatannya sangat cuek tentang ke hadiranku, mungkin dia lagi mendapatkan sedikit problem remajanya. Aku haru segera mengakrabkan diri dengannya.

"Ari, kamu nggak apa kan duduk di bangku no. 2 dari belakang di pojok itu kan?" tanya bu guru.
"Iya buk nggak apa." sambil tersenyum lebar aku berjalan menuju kursiku seperti yang dibilang bu guru.

Aku ingin sekali mendekati Andi, tapi sekarang masih jam pelajaran dan aku nggak ingin merusak jam pelajaran bu guru dengan acara temu kasih ini yang menemukan dua saudara yang telah lama berpisah. Pagi ini belajar biologi bersama Buk Novita, guru yang terbilang cukup cantik menurutku. Wajah bu guru yang putih bersih, badannya yang ramping dengan senyum yang bisa bikin suasana jadi tenang. Sepertinya Buk Novita belum lama selesai kuliah dan mengabdi di sekolah ini kalau di lihat dari tampilannya yang bener-bener muda dan gayanya yang enerjik.

Ketika aku berjalan menuju tempat dudukku aku dijegal oleh seseorang yang duduknya itu tepat di kusi depan mejaku aku pun hampir jatuh dan tersungkur. Suasana menjadi riuh dengan tertawa dan ledekan anak-anak berandalan. Memang lah orang ini cingkal kali. Ternyata ada beberapa murid yang mungkin bisa sedikit dikasi les tambahan nanti.

"Hahahaha... Jalan pake mata kau. Nyari apa kau? Nyari kodok?" ledek brandalan yang menjegalku tadi.

Badannya cukup besar dengan tampang sangar berkulit agak cokelat, mungkin dia adalah penunggu kelas ini. Tak kusangka di kelas yang notabenya kelas unggulan masih ada juga orang seperti ini. Ya mungkin dia itu juga punya kelebihan sehingga dia masuk kelas A.

"Sudah, sudah.... Jangan main-main." buk Novita ingin menyudahi keributan ini, tapi sepertinya Buk Novita masih kurang bisa dalam pengendalian kelas mungkin karena masih kurangnya pengalaman.

Aku terdiam saja dan segera duduk di kursiku. Anak berandalan itu terlihat bangga bisa menjahiliku di tengah jam pelajaran seperti ini. Aku tak ingin membuat keadaan semakin mencekam, aku pilih untuk bungkam dan melanjutkan kebahagiaanku yang tadi. Terlihat Andi masih saja terlihat merasakan kebosanan di dalam kelas ini.

****

Di jam istirahat aku dengan wajah penuh maksud bertabur kegembiraan mendatangi Andi.

"Andi…" aku menyebut namanya seolah-olah sudah sangat akrab gitu.
"Aku boleh duduk di sini ?" tanyaku kepada Andi sambil menunjukkan tangannya ke kursi kosong di sebelahnya di jam istirahat.
"Eh, anak baru! Kalau mau duduk, duduk aja. Tau dari mana namaku? Jangan jadi sok akrab ya samaku!" jawab Andi dingin padanku tanpa memperhatikan wajahku.

Untuk beberapa saat, Aku masih berdiri saja di samping Andi. Andi pun mengangkat kepalanya dan melihat raut wajahku. Sorot mataku berubah menjadi sangat tajam dengan senyum simpul yang mengerikan. Andi menjadi bengong melihat tatapan mataku yang tajam karena aku baru saja mengalami momen yang hancurkan rasa kagumku tadi. Ini orang nggak ada sopan-sopannya sama abang sendiri. Sebuah tinju mendarat di kepalanya, aku menjitak kepalanya walau tidak dengan kekuatan full untuk mengungkapkan jengkelku padanya. Aku merangkulnya seraya berkata...

"Jadi kau nggak senang aku duduk di sini ya?" tanyaku dengan membisikkan di telinganya.

Andi diam terpaku tak mengucapkan sepatah kata pun. Detak jantungnnya ku rasakan berdetak lebih cepat.

"Nah, gitu kan enak. Anteng." ujarku sambil cubit pipinya.

Aku pun berdiri beranjak meninggalkan Andi. Tapi dengan tiba-tiba ada yang colek pundakku, aku pun membalikkan badan dan....

"Buk...." sebuah pukulan mendarat di wajahku tak dapat ku hindari.

Serangan membabibuta pun terarah padaku dan aku dapat menahan serangan-serangan itu. Andi, dia sepertinya marah padaku. Walau seranagnnya bisa ku patahkan semuanya, tapi sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini.

"Hahahaha... Pukul terus! Anak baru lawan lah!" tampak seseorang teriak seru melihat kegaduhan ini.

Terdengar riuh juga dari penghuni kelas yang lain. Aku nggak bisa konstrasi memikirkan semua ini sambil bertahan. Tidak bisa aku terus bertahan kalau begini. Aku pun mulai mematahkan kuda-kuda Andi sehingga tubuhnya oleng tapi aku menahan tubuhnya dengan memegang bajunya sehingga tidak terhempas ke lantai dan tangan kananku mengepalkan tinju ke lantai melewati antara pundak dan telinga kanannya. Andi pun terdiam melongo melihat wajahku.

"Duh... meleset?" gumamku yang tinjuku sudah sampai di lantai.

Tak sedikit pun kata keluar dari mulut Andi meski dari raut wajahnya tersirat kekesalan yang sangat mendalam, seolah-olah dia berkata "Awas kau, tengoklah nanti kau ya." hahaha... Begitu mungkin kira-kira.

"Bagus.... Bagus..." terdengar suara dari balik kerumunan teman-temanku yang menyaksikan keributan ini.

Pak Fredy tiba-tiba muncul dan para murid langsung bubar menjauh dari kami. Aku pun membantu Andi untuk bangkit tapi Andi menepis bantuanku dan segera bangkit. Aku punya firasat bakal ada sesuatu yang buruk yang akan menimpaku kali ini.

"Dah siap kelen berantam? Kok berenti kelen? Lanjutlah, aku belun nengok tadi." suara Pak Fredy  memecah keriauhan yang terjadi.
"Eh... Enggak pak. Anu tadi...." aku ngomong terbata-bata.
"Apa kau bilang? Jelas sikit kau becakap. Laki nya kau?" bentak pak Fredy.
"Iya pak, maaf. Tadi kan...." jawabku bingung dengan jantung deg degan. Hari pertama masuk yang luar biasa.
"Kalian abang adek aja berantam. Jelaskan di kantor!" seru Pak Fredy.
"Apa pak? Abang adek? Siapa yang abang adek? Najis abang adek sama dia." ketus Andi, tapi tak digubris Pak Fredy yang pergi meninggalkan kami dengan tatapan tajam.

Aku dan Andi pergi mengikuti Pak Fredy ke kantor guru. Masalah di hari pertama masuk sekolah, sungguh keren. Andi terlihat menatapku dengan tatapan mata yang sinis, tapi aku tetap saja cengar-cengir membalas tatapannya itu. Kita berdua di sidang di kantor guru.

"Kan dah ku bilang kau jangan buat masalah di kelasku!" bentak Pak Fredy kepadaku. Aku hanya tertunduk saja tanpa kata.
"Kau juga Andi, mau ku telpon mamakmu sekarang?" tanya Pak Predy kepada andi dengan nada keras.
"Ja... Jangan pak. Jangan kasi tau bunda saya." sepontan Andi menjawab pertanyaan Pak Fredy dengan nada terkejut.
"Kalian itu dah besar, tapi kayak anak-anak ku tengok kayak anak SD. Tau kelen anak SD, tau kelen!" bentak Pak Fredy lagi.

Andi menatapku sinis seolah ingin menerkamku. Aku hanya terdiam dan tersenyum kepadanya.

"Mata kau! Mau kelen lanjut lagi berantamnya? Nggak puas kelen? Lanjut lah! Belum nengok aku tadi." bentak Pak Fredy lagi.

Andi pun tertunduk layu tak berani berbuat yang aneh-aneh lagi. Pak Fredy meninggalkan kami berdua di kantor guru, mungkin masih ada kerjaannya atau jam ngajarnya. Andi terlihat gelisah dan kesel untuk melewati harinya hari ini. Aku jadi nggak enak mengacaukan harinya di hari pertamaku masuk ke kelasnya.

"Andi...." tegurku.
"Apa........?" tanya Andi dengan nada sewot.
"Maaf ya." pintaku memelas penuh harap agar Andi mau akrab denganku.
"Enggak.... Enggak akan ku maafkan kau bodat. Mau kau apa nya? Baru masuk dah petentengan, gilak lah kau." seru Andi marah.
"Ya itu... Maaf lah." pintaku lagi.
"Enggak... Sampai kapan pun nggak mau aku maaf kan kau. Jijik aku nengok mukak kau itu." Andi masih kesal padaku.

Sepertinya bakal sulit untuk membujuk Andi. Oke deh, aku akan buat dia semakin jenuh dan memohon padaku untuk baik padanya. Bendera perang sudah dikibarkan, ku terima tantangan ini. Aku nggak akan membencimu, tapi aku akan sedikit membuat hari-harimu penuh dengan warna. Lihatlah, rasa sayangku akan melunturkan keangkuhanmu.

"Nyah... Kelen isi dulu surat itu!" Pak Fredy menyodorkan kepada masing-masing kami surat perjanjian untuk tidak berbuat maslaah lagi.
"Sekali lagi kelen buat masalah di sekolah ini, ku panggil orang tua kalian." seru Pak Fredy.
"Jangan pak!" seruku dan Andi serempak tanda tak setuju.
"Makanya kelen jangan cari masalah." bentak Pak Fredy lagi.

Setelah panjang lebar di sidang di kantor guru, akhirnya aku dan Andi dipersilahkan kembali ke kelas. Perasaanku kacau dan jadi serba nggak enak. Pengalaman pertama yang sungguh luar biasa, di luar eskpektasi.

"Woi... Mantap kali pertarungan kalian bah. Dah kayak di pilim-pilim di tv itu. Apa namanya? The Red... Yang berantam-berantam gitu. Tapi gaya kau kayak bencong, mukul aja kayak banci minta dikent*t. Potong aja kont*l kau itu. Hahahaha...." cibir orang yang sama yang buat masalah dari pertama aku masuk ke kelas, si pereman kelas.

Dia adalah Danu anak ketua yayasan sekolah ini, pantas aja seenaknya buat onar tanpa masalah dan takut guru. Orang kayak ginilah yang sebenarnya menjadi musuh yang nyata di sekolah, seseorang yang kebal hukum di sekolah ini.

"Anak baru, jago juga kau ya. Bisa lah aku nanti berguru samamu, mantap kali tadi ku tengok. Tapi jadi guru masak, hahahaha...." ledek Danu kepadaku.

Aku tak menghiraukan apa yang telah diucapkan Danu, tapi aku sebenarnya tak kuasa melihat Andi dihina seperti ini. Sepertinya aku punya tugas baru dan misi pertamaku adalah menghilangkan penghalang di kelas ini. Mungkin misi pertamaku akan berkaitan dengan Danu, aku harus lebih mengenal siapa sebenarnya Danu dan kenapa orang seperti dia ada di muka bumi ini.

Selanjutnya pelajaran pun berlangsung dengan normal walau aku sudah kehilangan waktu belajarku untuk pelajaran 1 dan 2 karena kebanyakan di kantor karena masalah, tapi itulah salam perkelana dariku. Perjalanan ini masih panjang, juga baru berjalan sehari di sekolah ini. Setelah jam pelajaran usai terlihat Andi terburu-buru untuk meninggalkan kelas. Aku ingin mengejarnya, tapi sepertinya lebih baik untuk memberikan sedikit waktu Andi untuk beradaptasi dengan kehadiranku di kehidupannya. Aku putuskan untuk pulang sendiri dengan mengendarai Zaki si sepeda motor kijangku. Melintasi jalan yang agak sepi dan ada perlintasan kereta api tanpa pintu, memasuki jalan kebun sawit setelah perlintasan kereta api tadi. Tiba-tiba lintasanku dihadang beberapa orang, dan di sana ada Danu yang sedang menungguku. What.....???

Bersambung....

_________________________________

Mozaik berikutnya.

Pertarungan antara aku dan Danu pun tak bisa dihindari. Danu beserta kawan-kawannya mencegatku di sebuah jalanan yang sepi di dekat perlintasan kereta api. Aku berusaha menghindari kegaduhan ini tapi aku tak bisa lepas dari cengkraman Danu dan teman-temannya. Sampai kapan aku bertahan tanpa melawan mereka, tapi kalau aku mati di sini tidak ada yang bakal melindungi Andi di sekolah.

Danu sangat terobsesi sekali untuk menghajarku, dan kini aku berada di kerumunan mereka. Jumlah mereka ada 4 orang dan 2 orang aku tidak mengenalinya mungkin dari kelas yang lain sedangkan yang seorang lagi teman kelasku juga. Sesekali tinju mereka berhasil juga menerobos pertahananku dan kedua lenganku pun dikunci mereka.

"Danu... Awas!" teriakku.

Aku pun menendang kedua orang yang memegangi tanganku membebaskan diri kemudian berlari melompat ke arah Danu. Kereta api melintas........

KESATRIA PENJAGA (Mozaik 2)
Gorila Tiger

_________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar