Sabtu, 24 Februari 2018

KESATRIA PENJAGA (Mozaik 1)


Hari Pertama


Pagi hari yang memang bener-bener pagi. Suasana masih begitu gelap, akan tetapi di luaran sudah begitu ramai hiruk pikuk pasar pagi. Aku bangun dan duduk di pinggir ranjangku sambil mengucek-ngucik mata yang sebenarnya masih terasa sedikit mengantuk. Dinginnya udara pagi menusuk tulangku, udara yang masuk dari sela-sela dinding papan kostanku yang sudah reot menjadi penyebab dinginnya kamar ini walau tanpa AC. Aku berjalan menuju saklar lampu yang berada di dekat pintu masuk kamarku dalam keadaan masih menggunakan boxer. Cahaya terang lampu kamarku mengusir kegelapan ini menandakan aku harus mengawali hariku ini.

"1,2,3,4,5,........,9,10"
"1,2,3,4,5,........,9,10"

Aku selalu push up, shit up dan pul up setiap paginya. Aku tau, karena aku itu tinggal sendiri dan ayah juga sendiri maka aku harus jaga bener kesehatan dan kebugaran tubuhku ini.

Terlihat sebuh surat pindah yang telah ku ambil dari sekolah awalku yang nanti ku pergunakan untuk masuk ke sekolah yang baru, sekolah di mana ada seseorang yang harus ku lindungi.

"Andi, mulai hari ini aku akan menjagamu."

Melihat ke selembar foto di atas meja belajarku yang lebih cocok disebut meja kerja berantakan, karena banyak sekali bang barang elektronik rusak yang ku coba perbaiki. Wajah sesosok remaja yang kira-kira umurnya 15 atau 16 tahun, seorang adek yang tak pernah ku temui selama betahun-tahun. Aku berjanji akan menjaganya.

****

Sehabis olahraga dan menghirup udara pagi yang segar dari jendela kamarku yang terletak di lantai 2, aku pun mempersiapkan sarapanku untuk hari ini dengan menanak nasi di rice cooker lalu pergi mandi. Kamar mandi terletak di lantai 1 bangunan kost, dan tidak ada di dalam kamar seperti di rumahku. Tak masalah bagiku mandi di kamar mandi umum yang tak jarang juga madi bareng penghuni kost yang lain yang kebanyakan adalah kuli atau karyawan pabrik roti yang mungkin berada tak jauh dari tempatku tinggal. Di dalam kamar mandi ada 3 bilik kamar mandi yang tak begitu luas dan satu bak panjang di luar yang berhadapan dengan 3 bilik kamar madi tersebut.

"Ngantri ya mas?" tanya seseorang yang mungkin penghuni kostan tempatku juga. Terdengar banget logat jawa khas orang pulau jawa.

Seorang pemuda yang mungkin umurnya tak jauh dariku sekitaran umurku atau lebih muda dariku sedikit, mungkin 16 atau 17 gitu. Meski tampak masih muda banget tapi tampak otot-otot yang sixpack bak tahu kotak-kotak menghiasi perutnya. Badannya yang sedikit legam kecoklatan membuatku paham kerasnya dunia ini. Pemuda tersebut hanya mengenakan handuk usang merah yang terlihat tua dan lapuk dengan ada beberapa robekan dan bolong di beberapa tempat. Dengan meninting timba kecil yang berisikan peralatan mandi pemuda tersebut berdiri di sebelahku, sedangkan aku mengenakan kaos lengan pendek, celana pendek yang di atas mata kaki sedikit serta membawa handuk yang ku kalungkan di leherku dan tak lupa timba kecil beserta sabunnya juga. Di terlihat dari handuk usang itu ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang tegak di pagi hari (erection morning). Kira-kira gimana bentuknya ya, jadi ingin tau.

"Iya mas." jawabku singkat sambil cengar-cengir.
"Namanya siapa mas?" tanya orang tersebut kepadaku.
"Ari mas. Oktafiari Ari. Panggil aja Ari." jawabku sambil menyodorkan tanganku untuk berjabat tangan.
"Iya mas Ari. Saya Reza. Mas orang baru di sini ya?" orang itu memperkenalkan diri sambil menjabat tanganku.

Terasa sekali tangannya kasar akibat kerja yang sangat keras.

"Ya, baru juga tiga hari di sini. Kenapa?" jawabku sambil menanya balik dengan logat khas Medan.
"Nggak, nggak apa mas. Maaf." jawab Reza sambil tertunduk malu.

Hahahaha... Kayaknya si Reza kira aku marah karena dia kepoin aku. Setelahnya kita bercerita ringan seputaran kehidupan ini sembari menunggu antrian untuk mandi. Kita pun berbicara mencairkan suasana dan akhirnya kita kebagian jatah bilik untuk mandi juga. Setelah mandi aku kembali ke kamarku untuk lanjut buat sarapan dan beres beres kamar sebelum berangkat sekolah.

****

Bezzzzzzt.....
Bezzzzzzt.....
Bezzzzzzt.....

Suara hp ku bergetar. Dan sekarang sudah sekitaran jam 6 pagi.

"Halo... Abang sudah bangun?"
"Sudah yah."
"Abang lagi apa?"
"Lagi buat sarapan yah."
"Anak ayah kenapa pilih pindah sekolah sih? Jadi ngekost sendiri? Emang mau cari apa di sekolah barunya di situ?"
"Nggak apa yah, abang mau cari suasana baru aja yah. Abang ingin bisa mandiri. Sudah dulu ya yah! Abang mau siap-siap, terus sarapan, kan nggak enak hari pertama masuk sekolah telat."
"Iya-iya, abang jaga diri disana ya! Baik-baik. Kalau ada butuh apa, telpon ayah aja ya."

Oh ya , namaku Ari, Oktafiari Ari. Sekarang aku duduk di kelas X SMA, walau umurku sudah lewat 2 tahun. Dulu aku pernah masuk SMK jurusan otomotif dan itu sebenarnya memang hobiku untuk kutak-katik mesin. Ayahku duda setelah bercerai dengan ibu sejak aku masih kecil dan ayah juga memiliki usaha bengkel mobil. Ayah mendidikku dengan keras tapi ayah orangnya sangat peduli dan menyayangiku. Untuk sekarang, hanya aku lah yang dimilikinya. Aku berjanji akan menyatukan keluarga ini kembali.



****

Sudah jam 7 pagi dan aku pun siap untuk berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda motorku, sepeda motor kijang klasik khas tahun 90-an. Aku mengeluarkan sepeda motorku dari tempat penyimpanan yang terletak di lantai 1, sebut aja sepeda motorku itu si Zaki. Bersama Zaki aku selalau menyusuri jalan demi mencari info tentang adikku dan kini aku telah menemukannya. Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah dan aku berharap bisa berteman baik dengan adikku. Aku sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan adikku yang telah lama tak berjumpa, kini tinggal beberapa saat lagi untukku agar aku bisa menatap wajahnya secara langsung. Kira-kira sama nggak ya dengan yang ada di foto? Apa pun itu aku akan menjaganya kelak.

Segarnya udara pagi menerpa tubuh ini saat ku susuri jalanan ke sekolahku. Menembus sedikit kemacetan kota dan melintasi kawasan perumahan polisi yang banyak peponan yang rindang di sepanjangan jalan. Udara pagi yang masih asri sungguh menyegarkan jiwa dan pikiran ini. Jarak antara kostanku dengan sekolah mungkin sekitaran 20 menit dengan menggunakan sepeda motor.

****

Sesampainya di sekolah aku parkirkan Zaki di parkiran motor yang terletak di sebelah kantor satpam yang bersebelahan dengan gerbang masuk. Aku ditanyai oleh satpam karena sebenarnya seragamku itu tak sama dengan seragam sekolah itu karena masih menggunakan seragam sekolahku yang dahulu dan belum mendapatkans eragam sekolah dari sekolahku yang baru ini. Setelah menjelaskan perihalku, aku diantarkan satpam menuju ruang guru. Di sana aku duduk menunggu wali kelasku yang baru, mungkin ada semacam beberapa prosedur dan administrasi yang harus di selesaikan. Bel masuk terdengar dan aku masih menanti wali kelasku, cukup lama. Jenuh dan bosan mulai melanda, tapi ini adalah krikil kecil ketimbang pencarianku selama ini.

Setelah cukup lama menanti, akhirnya seseorang pria berpostur tegap berkacamata menghampiriku. Dari perbincangan kita, dialah yang akan menjadi wali kelasku. Wali kelas, kelas X A. Beliau adalah guru olah raga sekaligus pengajar ekskul karate di sekolah ini. Kenapa aku masuk kelas X A? Karena mungkin nilaiku itu mencukupi untukku duduk di sana bersama yang lainnya.

"Oktafiari Ari, kenapa lah kau pindah ke sini? Sekolah lama kau itu kan mantap?" tanya guru tersebut dengan logat Medan-nya.
"Nggak apa pak, cuma mau cari suasana baru aja." jawabku sambil cengar cengir.
"Bah, berarti kau bandal. Ada bikin masalah kau di sana kan?" tanya guru itu lagi.
"Nggak lah pak, kan dapat surat rekomendasi. Mana bisa kalau bandal dapat surat rekomendasi." jawabku dengan sedikit senyum terpaksa.
"Awas lah kau buat masalah nanti di kelasku, habis kau ku buat." bisik guru tersebut kepadaku.

Aku hanya tersenyum kaku aja mendengar ucapan guru ini. Njir... Gurunya killer-killer, bisa mampus aku. Terus kenapa si Andi malah sekolah di sini ya? Ini lebih mirip tempat rehabilitas preman, gawat.

"Pak Fred, janganlah kejam kali sama murid kita. Tengoklah, jadi takut dia." sahut seorang guru wanita yang umurnya sekitar 40an dengan postur tubuh agak berisi dan tidak begitu langsing. Dari bed namanya tertera nama guru tersebut adalah buk Lala.
"Hahahaha... Nggak lah buk, becandanya aku." tawa pak guru yang bersamaku sambil nenpuk-nepuk pundakku dan nama guru tersebut adalah Fredy.

Syukurlah, suasana kantor telah menjadi tenang tak setegang tadi. Pak Fredy telah berdiri di samping kiriku yang sedang duduk di depan meja kerjanya di kantor guru.

"Dah kau ambil seragammu?" tanya Pak Fredy.
"Belum pak." jawabku.
"Sinilah ikut sama bapak, kau bawa bukti administrasimu itu." seru Pak Fredy.

Aku mengikuti Pak Fredy menuju suatu ruangan yang tertera tulisan di atas pintunya "Ruang Logistik". Di sana aku diberi seragam yang disesuaikan dengan ukuran baju dan celanaku dan di sana ada seorang pegawai yang menjaga bagian logistik. Aku mendapatkan seragam putih abu-abu satu stel dan seragam batik satu stel, seragam pramuka satu stel, seragam olahraga satu stel, dasi, topi dan atribut sekolah.

"Hari Selasa dan Kamis pakai yang batik, Jumat-Sabtu pakai pramuka, Senin dan Rabu pakai yang abu-abu." jelas pegawai logistik.

Aku pun menganggukkan kepalaku tanda paham.

"Kalau bisa cepat kau pasang simbolnya." tambah bapak itu.
"Iya pak." jawabku.

Setelah memasukkan sragam-seragam itu ke tasku yang jumlahnya cukup banyak, selanjutnya aku dan pak Fredy pergi ke ruangan kelas X A di mana Andi berada. Pak Fredy pun mengetuk pintu kelas dan memohon izin masuk kepada guru yang sedang mengajar.

"Silahkan pak." seorang guru wanita yang terlihat masih muda mempersilahkan kami memasuki ruangan kelas.

Pak Fredy pun segera masuk ke dalam ruang kelas dan aku pun mengikutinya dari belakang.

"Anak-anak bapak, kita ada kedatangan teman baru. Bapak harap kalian bisa berteman dan akrab." dengan lantang dan tegas berbicara di hadapan para muridnya tak seperti saat bersamaku suka bercandaan tadi.

Sepertinya Pak Fredy termasuk guru yang dihormati dan disegani murid-muridnya. Seorang guru harus bisa menempatkan posisinya di mana harus serius dan di mana harus bercanda. Salut aku nengok bapak yang satu ini. Selanjutnya aku memperkenalkan diriku di hadapan teman-teman baruku.

"Perkenalkan! Namaku Ari, Oktafiari Ari." dengan lantang dan tegas aku memperkenalkan diriku.

Satu-persatu aku perhatikan wajah teman-teman baruku dan menscan yang mana Andi di antara mereka semua. Dan Akhirnya ku dapati seseorang yang terlihat seperti foto yang ku dapat dari informanku.

Andi Hermawan...

Entah bagaimana aku mengungkapkan bahagianya hatiku setelah sekian tahun lamanya aku akhirnya bisa bertemu dengan adikku yang sangat aku rindukan. Melihatnya saja aku sudah hampir meleleh, terimakasih ya Allah Andi kelihatannya sehat dan sudah tambah besar dari sejak terakhir ku bersamanya. Tapi Andi kelihatannya sangat cuek tentang ke hadiranku, mungkin dia lagi mendapatkan sedikit problem remajanya. Aku haru segera mengakrabkan diri dengannya.

"Ari, kamu nggak apa kan duduk di bangku no. 2 dari belakang di pojok itu kan?" tanya bu guru.
"Iya buk nggak apa." sambil tersenyum lebar aku berjalan menuju kursiku seperti yang dibilang bu guru.

Aku ingin sekali mendekati Andi, tapi sekarang masih jam pelajaran dan aku nggak ingin merusak jam pelajaran bu guru dengan acara temu kasih ini yang menemukan dua saudara yang telah lama berpisah. Pagi ini belajar biologi bersama Buk Novita, guru yang terbilang cukup cantik menurutku. Wajah bu guru yang putih bersih, badannya yang ramping dengan senyum yang bisa bikin suasana jadi tenang. Sepertinya Buk Novita belum lama selesai kuliah dan mengabdi di sekolah ini kalau di lihat dari tampilannya yang bener-bener muda dan gayanya yang enerjik.

Ketika aku berjalan menuju tempat dudukku aku dijegal oleh seseorang yang duduknya itu tepat di kusi depan mejaku aku pun hampir jatuh dan tersungkur. Suasana menjadi riuh dengan tertawa dan ledekan anak-anak berandalan. Memang lah orang ini cingkal kali. Ternyata ada beberapa murid yang mungkin bisa sedikit dikasi les tambahan nanti.

"Hahahaha... Jalan pake mata kau. Nyari apa kau? Nyari kodok?" ledek brandalan yang menjegalku tadi.

Badannya cukup besar dengan tampang sangar berkulit agak cokelat, mungkin dia adalah penunggu kelas ini. Tak kusangka di kelas yang notabenya kelas unggulan masih ada juga orang seperti ini. Ya mungkin dia itu juga punya kelebihan sehingga dia masuk kelas A.

"Sudah, sudah.... Jangan main-main." buk Novita ingin menyudahi keributan ini, tapi sepertinya Buk Novita masih kurang bisa dalam pengendalian kelas mungkin karena masih kurangnya pengalaman.

Aku terdiam saja dan segera duduk di kursiku. Anak berandalan itu terlihat bangga bisa menjahiliku di tengah jam pelajaran seperti ini. Aku tak ingin membuat keadaan semakin mencekam, aku pilih untuk bungkam dan melanjutkan kebahagiaanku yang tadi. Terlihat Andi masih saja terlihat merasakan kebosanan di dalam kelas ini.

****

Di jam istirahat aku dengan wajah penuh maksud bertabur kegembiraan mendatangi Andi.

"Andi…" aku menyebut namanya seolah-olah sudah sangat akrab gitu.
"Aku boleh duduk di sini ?" tanyaku kepada Andi sambil menunjukkan tangannya ke kursi kosong di sebelahnya di jam istirahat.
"Eh, anak baru! Kalau mau duduk, duduk aja. Tau dari mana namaku? Jangan jadi sok akrab ya samaku!" jawab Andi dingin padanku tanpa memperhatikan wajahku.

Untuk beberapa saat, Aku masih berdiri saja di samping Andi. Andi pun mengangkat kepalanya dan melihat raut wajahku. Sorot mataku berubah menjadi sangat tajam dengan senyum simpul yang mengerikan. Andi menjadi bengong melihat tatapan mataku yang tajam karena aku baru saja mengalami momen yang hancurkan rasa kagumku tadi. Ini orang nggak ada sopan-sopannya sama abang sendiri. Sebuah tinju mendarat di kepalanya, aku menjitak kepalanya walau tidak dengan kekuatan full untuk mengungkapkan jengkelku padanya. Aku merangkulnya seraya berkata...

"Jadi kau nggak senang aku duduk di sini ya?" tanyaku dengan membisikkan di telinganya.

Andi diam terpaku tak mengucapkan sepatah kata pun. Detak jantungnnya ku rasakan berdetak lebih cepat.

"Nah, gitu kan enak. Anteng." ujarku sambil cubit pipinya.

Aku pun berdiri beranjak meninggalkan Andi. Tapi dengan tiba-tiba ada yang colek pundakku, aku pun membalikkan badan dan....

"Buk...." sebuah pukulan mendarat di wajahku tak dapat ku hindari.

Serangan membabibuta pun terarah padaku dan aku dapat menahan serangan-serangan itu. Andi, dia sepertinya marah padaku. Walau seranagnnya bisa ku patahkan semuanya, tapi sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini.

"Hahahaha... Pukul terus! Anak baru lawan lah!" tampak seseorang teriak seru melihat kegaduhan ini.

Terdengar riuh juga dari penghuni kelas yang lain. Aku nggak bisa konstrasi memikirkan semua ini sambil bertahan. Tidak bisa aku terus bertahan kalau begini. Aku pun mulai mematahkan kuda-kuda Andi sehingga tubuhnya oleng tapi aku menahan tubuhnya dengan memegang bajunya sehingga tidak terhempas ke lantai dan tangan kananku mengepalkan tinju ke lantai melewati antara pundak dan telinga kanannya. Andi pun terdiam melongo melihat wajahku.

"Duh... meleset?" gumamku yang tinjuku sudah sampai di lantai.

Tak sedikit pun kata keluar dari mulut Andi meski dari raut wajahnya tersirat kekesalan yang sangat mendalam, seolah-olah dia berkata "Awas kau, tengoklah nanti kau ya." hahaha... Begitu mungkin kira-kira.

"Bagus.... Bagus..." terdengar suara dari balik kerumunan teman-temanku yang menyaksikan keributan ini.

Pak Fredy tiba-tiba muncul dan para murid langsung bubar menjauh dari kami. Aku pun membantu Andi untuk bangkit tapi Andi menepis bantuanku dan segera bangkit. Aku punya firasat bakal ada sesuatu yang buruk yang akan menimpaku kali ini.

"Dah siap kelen berantam? Kok berenti kelen? Lanjutlah, aku belun nengok tadi." suara Pak Fredy  memecah keriauhan yang terjadi.
"Eh... Enggak pak. Anu tadi...." aku ngomong terbata-bata.
"Apa kau bilang? Jelas sikit kau becakap. Laki nya kau?" bentak pak Fredy.
"Iya pak, maaf. Tadi kan...." jawabku bingung dengan jantung deg degan. Hari pertama masuk yang luar biasa.
"Kalian abang adek aja berantam. Jelaskan di kantor!" seru Pak Fredy.
"Apa pak? Abang adek? Siapa yang abang adek? Najis abang adek sama dia." ketus Andi, tapi tak digubris Pak Fredy yang pergi meninggalkan kami dengan tatapan tajam.

Aku dan Andi pergi mengikuti Pak Fredy ke kantor guru. Masalah di hari pertama masuk sekolah, sungguh keren. Andi terlihat menatapku dengan tatapan mata yang sinis, tapi aku tetap saja cengar-cengir membalas tatapannya itu. Kita berdua di sidang di kantor guru.

"Kan dah ku bilang kau jangan buat masalah di kelasku!" bentak Pak Fredy kepadaku. Aku hanya tertunduk saja tanpa kata.
"Kau juga Andi, mau ku telpon mamakmu sekarang?" tanya Pak Predy kepada andi dengan nada keras.
"Ja... Jangan pak. Jangan kasi tau bunda saya." sepontan Andi menjawab pertanyaan Pak Fredy dengan nada terkejut.
"Kalian itu dah besar, tapi kayak anak-anak ku tengok kayak anak SD. Tau kelen anak SD, tau kelen!" bentak Pak Fredy lagi.

Andi menatapku sinis seolah ingin menerkamku. Aku hanya terdiam dan tersenyum kepadanya.

"Mata kau! Mau kelen lanjut lagi berantamnya? Nggak puas kelen? Lanjut lah! Belum nengok aku tadi." bentak Pak Fredy lagi.

Andi pun tertunduk layu tak berani berbuat yang aneh-aneh lagi. Pak Fredy meninggalkan kami berdua di kantor guru, mungkin masih ada kerjaannya atau jam ngajarnya. Andi terlihat gelisah dan kesel untuk melewati harinya hari ini. Aku jadi nggak enak mengacaukan harinya di hari pertamaku masuk ke kelasnya.

"Andi...." tegurku.
"Apa........?" tanya Andi dengan nada sewot.
"Maaf ya." pintaku memelas penuh harap agar Andi mau akrab denganku.
"Enggak.... Enggak akan ku maafkan kau bodat. Mau kau apa nya? Baru masuk dah petentengan, gilak lah kau." seru Andi marah.
"Ya itu... Maaf lah." pintaku lagi.
"Enggak... Sampai kapan pun nggak mau aku maaf kan kau. Jijik aku nengok mukak kau itu." Andi masih kesal padaku.

Sepertinya bakal sulit untuk membujuk Andi. Oke deh, aku akan buat dia semakin jenuh dan memohon padaku untuk baik padanya. Bendera perang sudah dikibarkan, ku terima tantangan ini. Aku nggak akan membencimu, tapi aku akan sedikit membuat hari-harimu penuh dengan warna. Lihatlah, rasa sayangku akan melunturkan keangkuhanmu.

"Nyah... Kelen isi dulu surat itu!" Pak Fredy menyodorkan kepada masing-masing kami surat perjanjian untuk tidak berbuat maslaah lagi.
"Sekali lagi kelen buat masalah di sekolah ini, ku panggil orang tua kalian." seru Pak Fredy.
"Jangan pak!" seruku dan Andi serempak tanda tak setuju.
"Makanya kelen jangan cari masalah." bentak Pak Fredy lagi.

Setelah panjang lebar di sidang di kantor guru, akhirnya aku dan Andi dipersilahkan kembali ke kelas. Perasaanku kacau dan jadi serba nggak enak. Pengalaman pertama yang sungguh luar biasa, di luar eskpektasi.

"Woi... Mantap kali pertarungan kalian bah. Dah kayak di pilim-pilim di tv itu. Apa namanya? The Red... Yang berantam-berantam gitu. Tapi gaya kau kayak bencong, mukul aja kayak banci minta dikent*t. Potong aja kont*l kau itu. Hahahaha...." cibir orang yang sama yang buat masalah dari pertama aku masuk ke kelas, si pereman kelas.

Dia adalah Danu anak ketua yayasan sekolah ini, pantas aja seenaknya buat onar tanpa masalah dan takut guru. Orang kayak ginilah yang sebenarnya menjadi musuh yang nyata di sekolah, seseorang yang kebal hukum di sekolah ini.

"Anak baru, jago juga kau ya. Bisa lah aku nanti berguru samamu, mantap kali tadi ku tengok. Tapi jadi guru masak, hahahaha...." ledek Danu kepadaku.

Aku tak menghiraukan apa yang telah diucapkan Danu, tapi aku sebenarnya tak kuasa melihat Andi dihina seperti ini. Sepertinya aku punya tugas baru dan misi pertamaku adalah menghilangkan penghalang di kelas ini. Mungkin misi pertamaku akan berkaitan dengan Danu, aku harus lebih mengenal siapa sebenarnya Danu dan kenapa orang seperti dia ada di muka bumi ini.

Selanjutnya pelajaran pun berlangsung dengan normal walau aku sudah kehilangan waktu belajarku untuk pelajaran 1 dan 2 karena kebanyakan di kantor karena masalah, tapi itulah salam perkelana dariku. Perjalanan ini masih panjang, juga baru berjalan sehari di sekolah ini. Setelah jam pelajaran usai terlihat Andi terburu-buru untuk meninggalkan kelas. Aku ingin mengejarnya, tapi sepertinya lebih baik untuk memberikan sedikit waktu Andi untuk beradaptasi dengan kehadiranku di kehidupannya. Aku putuskan untuk pulang sendiri dengan mengendarai Zaki si sepeda motor kijangku. Melintasi jalan yang agak sepi dan ada perlintasan kereta api tanpa pintu, memasuki jalan kebun sawit setelah perlintasan kereta api tadi. Tiba-tiba lintasanku dihadang beberapa orang, dan di sana ada Danu yang sedang menungguku. What.....???

Bersambung....

_________________________________

Mozaik berikutnya.

Pertarungan antara aku dan Danu pun tak bisa dihindari. Danu beserta kawan-kawannya mencegatku di sebuah jalanan yang sepi di dekat perlintasan kereta api. Aku berusaha menghindari kegaduhan ini tapi aku tak bisa lepas dari cengkraman Danu dan teman-temannya. Sampai kapan aku bertahan tanpa melawan mereka, tapi kalau aku mati di sini tidak ada yang bakal melindungi Andi di sekolah.

Danu sangat terobsesi sekali untuk menghajarku, dan kini aku berada di kerumunan mereka. Jumlah mereka ada 4 orang dan 2 orang aku tidak mengenalinya mungkin dari kelas yang lain sedangkan yang seorang lagi teman kelasku juga. Sesekali tinju mereka berhasil juga menerobos pertahananku dan kedua lenganku pun dikunci mereka.

"Danu... Awas!" teriakku.

Aku pun menendang kedua orang yang memegangi tanganku membebaskan diri kemudian berlari melompat ke arah Danu. Kereta api melintas........

KESATRIA PENJAGA (Mozaik 2)
Gorila Tiger

_________________________________

Jumat, 23 Februari 2018

KESATRIA PENJAGA (Opening)

Sinopsis


KESATRIA PENJAGA (Opening)

Kisah ini adalah novel karangan Bang Hero yang diadaptasikan dari kehidupan di sekitar Bang Hero yang tinggal di Kota Medan. Suatu hal mungkin bisa saja terjadi di sekitar kita. Mohon maaf apabila ada kesamaan tokoh, tempat atau kesamaan cerita.

Oktafiari Ari atau yang lebih dikenal dengan Ari adalah seorang anak dari keluarga yang broken home, tapi kondisi seperti itu tak membuatnya menjadi berandalan walau hanya dididik dan diasuh ayahnya saja. Sejak kecil Ari sudah harus berpisah dengan ibu dan adeknya. Walau pun sudah bertahun berlalu dari umur Ari 6 tahun sekarang yang sudah menginjak 17, Ari berkeinginan untuk menyatukan keluarganya kembali. Rasa sayang dan cintanya terhadap adeknya tak dapat dibendungnya. Bagi Ari, keutuhan keluarga layak untuk diperjuangkan. Setelah mengumpulkan informasi dan melakukan pencarian, maka Ari pun menemukan sebuah sekolah di mana adeknya berada dan kisah ini pun di mulai.



Ada banyak hal yang harus dilakukan Ari agar dapat menyatukan keluarganya, dan itu ingin dimulai Andi dengan menguatkan hubungnnya dengan Andi adeknya. Sikap Andi yang kekanak-kanakan dan anak mami membuat Ari jengkel dan ingin memberikannya sedikit pelajaran meski menurutnya masih dalam taraf wajar. Tapi entah kenapa sikap sayang Ari terhadap Andi itu terlihat seperti sangat belibihan di luar batas cinta kasih seorang kakak terhadap adeknya. Rasa sayang ini bukanlah rasa sayang yang biasa, tapi luar biasa.

Awal masuk semester 2 Ari pindah ke sekolah Andi dan sekelas dengan Andi. Ada banyak permasalahan yang terjadi di sepanjang perjalannya di sekolah dimulai dari perkelahian antara Andi dan Ari walau sebenarnya tak bisa disebut perkelahian sih. Setelah hari pertama itu dan emang dari awal Andi itu jenuh dan nggak suka liat Ari tapi Ari tetap berusaha untuk bisa akrab denganya dan melindunginya. Seorang teman kelas yang terkenal sebagai pereman sekolah harus di taklukkan. Mungkin perlu cara ekstra untuk melunakkan hatinya. Benarkah? Danu...

****

Pertarungan demi pertarungan pun terjadi, demi menjaga yang disayangi. Banyak hal yang terjadi yang membuat Ari dan Andi semakin akrab walau mereka bertengkar terus. Tapi semua itu makin terlihat kalau mereka sangat akrab, walau Andi tidak mau mengakuinya. Dalam hati Andi pastinya tidak dapat dipungkiri kalau Ari sangat sayang padanya. Walau terasa aneh, tapi rasa itu nggak mungkin ditepis. Andi semakin aman dan nyaman apabila berada di sisi Ari yang berfisik kuat dan selalau melindunginya.

Suatu hari mereka kemping, Ari merasakan degupan kencang di dadanya dan wajahnya merah padam. Ari tak dapat mengendalikan dirinya lagi. Seprtinya ada yang salah dari dalam dirinya. Ari mendekap Andi kencang dan mulai melucuti pakannya. Tubuh Ari yang tegap dan dapat ditahan oleh Ari yang mungil dan lemah fisiknya. Di malam yang dingin dan kelam....

"Ahhhhhh.... Sakit Ri!" teriak Andi tertahan oleh bekapan tangan Ari di mulutnya.

Ari tak dapat mengendalikan birahinya di tengah kesunyian areal kemping.

****

"Benci aku nengok kau anj*ng." teriak Andi sambil meninggalkan Ari di sekolah.
"Ndi... Dengarkan dulu." Ari berlari mengejar Andi tapi tak didapatinya.

Telah ditemukan obat perangsang disalah satu tas teman kelas mereka yang dahulu anggotanya Danu saat rajia tas. Tak salah lagi kalau inilah penyebabnya dan Ari tau kalau orang itu masih memiliki dendam terhadap Ari dan Andi.

****

Sekumpulan preman datang disaat pulang sekolah Andi dan Ari pun mati-matian melindungi Andi.

"Darah......" Andi.

Suara serinai ambulan mencerit kencang.

"Oki... Buka matamu! Ini bunda. Jangan pergi lagi Oki."

Dia? Oki? Kak Oki?

****

"Maaf nyonya... Penganti prianya sudah datang."
"Kak Oki, bagai mana ini?" Andi.
"Bunda...."

****

Minggu, 18 Februari 2018

KOLAM RENANG (Lembaran 10)


Episode sebelumnya....

Albert menatapku yang sedang asik dengan rajawali miliknya dengan tatapan bingung seolah tak percaya, tapi hemmmmm.... Abaikan saja. Albert kembali membaca buku komik itu lagi. Kali ini Albert merasakan rasa yang seru baca komiknya ditambah rasa nikmat yang mungkin aneh. Hihihi...

Aku mandikan rajawali Albert dengan air liurku langsung, terasa lembut dan empuk. Ingin rasanya berlama-lama dengan rajawali Albert. Untuk bocah seumuran Albert, ku rasa Albert termasuk memiliki ukuran rajawali yang cukup bisa diandalkan. Aku sesekali menatap Albert tapi tetap saja Albert biasa aja sambil membaca komiknya. Tapi menurutku kalau sudah kokoh rajawli kepemilikan Albert, tandanya dia itu menikmati semua ini. Betul apa betul? Six asix... Hihihi.... Albert ku sayang, oh Albert ku sayang. Tak ingin ku terlewatkan momen-momen ini. Dan...

Tok tok tok....
Terdengar suara ketukan pintu dan OMG. Itu temenku datang...
Gawat.....

****
Next....

Aku bergegas untuk menutup kembali otong milik Albert. Semua harus dilakukan dengan cepat dan aman, nggak boleh sampai otongnya Albert terjepit ziper. Ku kondisikan situasi dan aku langsung lompat ke pintu dan....

Tak...
Bunyi suara kunci ku putar dan ku putar handel pintu.

Suasana yang greget bercapur aduk menjadi satu. Temanku melihat keadaan sekitaran ruang kamarku dan di dapatinya ada bocah yang sedang baringan sambil baca komik. Mungkin terasa aneh kalau pintu kamar ku kunci. Tapi temanku taunya itu bocah adalah keponakan aku jadi mungkin nggak ada timbul rasa curiga apa-apa. Hemmmmm... Kenapa dia datang sih di saat aku ingin berdua dengan Albert. Duh.... Nanggung banget.

Jam istirahat hampir usai dan aku sudah tak bisa berbuat apa-apa dengan Albert. Aku permisi ke Albert mau ke kantor bentar. Sesampainya di kantor aku hanya duduk-duduk aja. Matahari terik-teriknya di luar dan Albert di kamar sendirian karena temanku dah jelas balik kerja lagi ke kantornya. Aku cap cus aja ke kamar lagi.

"Yuk Bet!" ajakku.
"Kemana?" tanyanya.
"Kan tujuannya kita mau ke kolam." ujarku.

Terlihat Albert bermalas-malasan dan enggan beranjak dari posisinya sekarang.

"Nggak ada celanaku." kata Albert.

Duh... Nie anak alasan aja biar nggak jadi ke kolam renang. Padahal kan episode kali ini temanya aku ajak dia ke kolam renang, makanya aku izin sama ayahnya. Hemmmmmm.....

Ku keluarkan celana boxer dari lemariku yang emang dah ku persiapkan untuk hari ini. Inginnya sih aku bawa Albert ke toko pakaian, tapi waktu nya nggak sempet. Aku sebenarnya ingin membelikan Albert ya setidaknya sepotong atau satu stel pakaian biar nggak itu-itu aja baju Albert dari pertama kali ku lihat, kaos kerah biru dengan celana jins panjang.

"Nie Bet... Pakai ini aja." seruku sambil menyodorkan boxer.

Akhirnya Albert mau beranjak dari tempat persemayamannya.

"Dah selesai kau baca bukumu Bet?" tanyaku.
"Udah." begitu jawabnya.

Walau pun sudah kelar baca, tapi buku itu masih asik untuk dibolak-baliknya.

Aku persiapkan perlengkpan untuk berenang seperti celana pendek, perlengkapan mandi. Wah... Bakal mandi bareng Albert nggak nanti di sana ya di ruang bilas? Hihihihi... Jadi nggak sabar. Satu persatu perlengkapan itu telah masuk ke ranselku dan tak lupa bawa hp dan dompet. Isinya jangan lupa ya. Hehehehe.....

****

Loh... Mas! Kerjanya gimana? Ini kan masih siang, belum selesai jam kerjanya?

Bodo amat dah. Waktuku di sini nggak banyak bersama Albert, jadi harus bisa dimkasimalkan semaksimal mungkin. Cabut kerja dah. Mumpung semua rekan kerja jam segini lagi pada di kantor, yuk Bet go.... go.... Biar nggak ada yang kepoin kepergian kita. Hahahaha....

****

Lagi-lagi taksi online yang menjadi pilihanku sebagai transport ke kolam renang bersama Albert. Dan tak lama menunggu sang taksi online pun datang, dan kita pun berangkat. Cap cus dah... Tapi jangan lupa ya.

"Pak... AC nya dimatiin aja, adek saya nggak tahan AC." pintaku kepada pak driver.
"Baik pak, jadi kita buka aja kaca jendela mobilnya ya pak. Sebentar pak..." jawab sang driver sambil menurunkan windows kaca mobil.

Tak membutuhkan waktu lama karena kolam renangnya nggak begitu jauh dari tempat tinggalku, sekitaran 2 km saja. Walau pun dekat, aku harapkan dapat mencerikah suasana hati Albert.

Kolam yang biasa aku gunakan untuk berenang atau belajar berenang kini kami sudah sampai. Hari ini ku bawa Albert yang biasanya aku hanya bersama teman temanku saja.

Aku biasa kok pergi ke kolam renang ini bersama teman-teman pada hari Jumat pagi. Kenapa Jumat pagi? Karena kita liburnya Jumat dan waktu pagi itu masih seger dan sepi. Kolamnya juga nggak terlalu banyak yang pipisin. Hehehehe...

****

Aku dan Albert turun dari taksi online dan berjalan dari parkiran dan membeli tiket masuk. Harga tiketnya nggak mahal kok, Cuma berkisar 10k dan gratis 1 buah teh botol ukuran pouch/tiket. Mungkin ini bukanlah kolam renang yang mewah, tapi inilah yang  tersedia untuk saat ini. Kita menuju area kolam dan aku tukarkan tiket dengan minuman tadi.



"Rame...." seru Albert.

Kita mencari tempat untuk meletakkan tas dan ke ruang ganti untuk ganti ke mode baju renang. Ruang ganti atau ruang bilas itu diseberang kolam yang kedalamannya 1,6m dari tempat penukaran tiket. Aku ingin sih membawa Albert ke Theme Park Pantai Cermin yang salah satu wahana bermain air terbesar dan rekomen di kabupatenku, tapi jauh dan banyak faktor penghambatnya sih. Dari lokasi yang sangat jauh dan penggunaan trasnport dan pastinya butget ke sana itu cukup besar dari transport dan tiket masuk yang berkisar 100k/orang.

Next...

Aku dan Albert sekarang berada di ruang ganti. Waw... Albert dan aku dalam satu bilik lagi. Apa yang akan terjadi? Akankah sama kejadiannya dengan di kamar mandi asrama? Waduh... Aku inginnya sih begitu dan kalau bisa lebih. Hihihi...

Albert segera melucuti pakaiannnya tapi sepertinya dia ragu untuk melepas segitiga kuning miliknya. Tapi mau nggak mau ya dibuka juga karena nanti dia nggak ada semvak lagi. Sekali lagi burung rajawali Albert terekspos walau tidak dalam keadaan ready alias layu. Tak ingin memberikanku pemandangan yang bagus itu, Albert segera memakai celana yang ku bawa tadi tapi langsung gitu aja. Hemmmmm.... Aku nggak dikasi sentuh otongnya. Aku pun bergegas ganti karena Albert juga sudah nggak sabar, tapi bukan nggak sabar untuk bermanja dengan burung garudaku ya. Albert sudah nggak sabar untuk terjun ke lapangan, untuk main air.

Next....

Tak menunggu isyarat atau aba-aba, Albert langsung jebur ke kolam yang 1,6 meter. Terlihat bahwasannya Albert itu emang pandai berenang. Sekedar pamer skill maka Albert mencoba beberapa gaya renang dari yang standar sampai yang tiduran di atas air. Aku itu orangnya nggak pande berenang, hehehe... Kalau berenang pasti nggak jauh-jauh dari pinggir kolam, karena kalau habis nafas maka ke tepian kolam. Kalah telak nie aku di kolam.  Maunya sih peluk Albert di dalam kolam sambil mesra-mesraan gitu, tapi nggak mungkin di kolam yang lumayan buat merendam hidungku kalau aku berdiri di dasar kolam. Megap gan...

Albert tampak menikmati renangnya di kolam yang mungkin tak banyak dari anak yang seumuran dia di situ. Memang tak begitu luas sih kolam yang ukuran 1,6 meter ini tapi cukup memadai sih menurutku. Apa pun itu aku nggak begitu mempedulikannya, yang penting bagiku kalau Albert sudah tersenyum maka aku akan senang. Sayang Albert...

Terlihat Albert keluar dari kolam 1,6 meter dan bergegas menuju kolam yang sangat luas dan ramai, yups... kolam yang biasa digunakan anak-anak dan keluarganya. Ada beberapa wahana air seperti seluncuran yang cukup menyenangkan bagi Albert, aku pun ikut di belakangnya untuk memperhatikannya. Kan gawat kalau Albert hilang di tempat ramai seperti ini, tapi Albert nggak mikirkan itu. Hahahaha... Dasar bocah dah...


Kayaknya setiap sudut kolam disusuri Albert dan setiap wahana wajib di coba. Aku hanya mengikuti ke mana Albert pergi agar tak sulit untukku menemukannya. Albert mengenakan celana pendek atau biasa disebut celana kolor kalau di tempatku, dan mengenakan singlet putih. Semua pakaian itu melekat erat di tubuh Albert menampakkan setiap lekukan tubuhnya. Aku nggak ingat lagi sudah berapa kali kita naik prosotan atau seluncuran air. Aku duduk di belakang Albert sambil memeluknya dan meluncur dengan cepatnya. Kita meluncur masuk langsung ke kolam yang tidaklah dalam, palingan setengah meter. Hiruk-pikuk suasana kolam di hari weekend ini membuat Albert sungguh bersemangat.

Aku mengingat sebuah official video kamtis...

Luar Biasa.

Dulu aku seorang loser tapi kini ku punya power
Dulu aku dipandang sebelah mata tapi kini ku sang juara
Ku tak biasa biasa saja, biasa saja ku tak suka
Dulu biasa, biasa saja kini aku luar biasaaaaaaaaaaaa
Ooooooooooooooooo......oooooooooooooo.....

****

Duh... Laper juga lama-lama berendam di air. Terlihat Albert memperhatikan orang-orang yang dipinggiran kolam sedang menikmati mie instan cup. Wew...

"Mau kau itu Bet?" tanyaku sambil mengisyaratkan makanan mie instan cup tersebut.
"Kau mau?" tanya Albert.

Aku pun tersenyum ke arahnya mengisyaratkan up to you.

"Sini ku beli." seru Albert.

Aku pun menuju tasku dan mengambil selembar uang 20 rebu. Albert mengambil uang tersebut dan berjalan cepatnya melintasi kolam sambil mengangkat tangan kanannya agar uang tadi nggak basah. Hehehehe... Kalau uangnya basa apa jadi nggak laku ya? Hihihihi...

Aku memperhatikan Albert dari kejauhan, rasa jenuh melanda menanti Albert yang tak kunjung tiba. Ku putuskan untuk menjemputnya untuk mengetahui apa yang membuatnya lama. Terlihat banyak juga orang yang berkerumun untuk membeli mie instan cup di cuaca yang terik ini.

****

Waduh... Pantas lama kalau begini. Lagian kalau beli mie instan cup desak-desakan seperti ini bakal lama dan ditambah Albert itu masih bocah dan kecil yang mungkin tidak begitu terperhatikan sama kakak yang jual mie instan cup. Ini Medan, siapa yang punya power maka dia yang menang dan untuk kali ini Albert kalah power dengan tante-tante dan om-om yang kelaparan yang lupa akan daratan. Wew...

"Bet... Sini duitnya, biar aku aja yang beli." ujarku.

Albert menyerahkan duit 20 rebu yang dipegangnya tadi. Aku mengisyaratkan padanya agar main aja dulu di kolam, kalau urusan yang satu ini biar aku yang tangani. Dan benar saja, kalau aku yang berdiri di stan itu nggak menunggu waktu yang lama untuk mendapatkan mie instan cup. Aku juga membeli bebrapa bungkus kacang atom dan mienuman gelas sebagai teman untuk meyantap mie instan cup ini. Aku pilih mie instan cup yang rasa kari yang cup nya warna kuning. Waw...

Aku berjalan menyusuri pinggiran kolam menuju tempat dudukan yang tersedia di sepanjangan pinggiran kolam. Kan nggak banget kalau menerobos tengah kolam sambil bawa mie instan cup, bisa kena penalti dari penjaga kolam yang standbay di pinggiran kolam memperhatikan suasana kolam sedari tadi. Jadi peraturan kolam kan nggak boleh membawa makanan atau minuman ke dalam kolam.

Sesampainya di tempat dudukanku yang aku meletakkan tasku di situ, aku lambaikan tanganku ke Albert untuk segera naik dari kolam dan bergabung bersamaku untuk menikmati 1 cup mie instan rasa kari ini. Meski tidak bersegera meninggalkan posisinya di kolam, tapi akhirnya Albert naik juga dan duduk di sampingku. Sungguh suasana sore yang indah.

Menikmati mie instan cup di sore hari yang panas gini sambil memperhatiakn Albert yang terlihat asyik makan mie tersebut. Wajah polos Albert yang tampak sekali masih bocah tak berdosa yang sedang berada di sisi om-om baik hati yang suka memanjakan bocah penuh maksud, membuat semua ini terasa begitu epik. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk menghabisakan mei instan cup yang isinya itu nggak banyak alisas dikit, suek dah kebesaran tempat. Hihihihi...

Next...

Albert kembali berendam lagi di kolam sambil melepaskan kepenatannya. Kita adu nyelam, lama-lamaan. Sudah pasti bisa ditentukan aku yang menang karena kapasitas paru-paruku lebih besar dari Albert. Tapikalau lomba berenang atau main kejar-kejaran di air, sudah dipastikan aku yang kalah karena aku nggak begitu bisa renang. Selanjutnya kita main seluncuran air lagi dan lagi. Lumayan terkuras banyak energi seperti ini tapi ku lihat Albert masih semangat seolah dia menyerap energi alam yang tak terbatas energinya.

"Bet... Sudahan ya! Dah sore, nanti pulang lagi kita." ajakku untuk berhenti main air karena aku harus balikan Albert ke kostan ayahnya yang jaraknya cukup jauh sekitar sejam perjalanan.
"Bentar lagi, 5 kali lagi." jawab Albert mengisyaratkan untuk diberi kesempatan 5 putaran lagi main seluncuran air.

Aku membiarkannya bermain kembali sedangkan aku hanya perhatikan dia dari jauh walau masih dalam kolam kedalaman setengah meter. Setelahnya aku pergi ketepian dan duduk di tempat dudukanku yang bersebelahan dengan tasku. Tak nampak sedikit pun Albert ingin menyudahi permainannya hari ini, walau ku tau sudah lebih dari 5 kali dia main seluncuran air. Aku memanggil Albert 2, 3 kali untuk mengingatkan kalau kita harus siap-siap pulang. Cukup lama juga membujuknya sampai akhirnya dia mau keluar kolam. Kita pergi ke ruang bilas untuk mandi dan ganti pakaian. Aku sudah persiapkan peralatan mandi juga dan handuk.

"Bet... Masuk!" pintaku agar dia mau masuk ke dalam bilik bilas.
"Di sini aja." pintanya agar mandi di ruangan terbuka yang ada showernya yang memancarkan air.
"Enggak, di dalam aja." seruku.

Akhirnya Albert nurut dan kita pun masuk ke dalam bilik bilas. Jantung ini pun berdetak dengan kencangnya. Tak kuasa hati ini menahan gejolak cinta yang sudah lama membara. Ku guyurkan air itu ke tubuhku dan Albert dan sesaat suasanana menjadi hening ditambah suara latar air keran yang memancar ke dalam bak plastik di dalam ruang bilas. Entah apa yang ku pikirkan tapi pikiran ini melayang-layang ke angkasa. Aku ingin sekali memeluknya saat ini.

****

Saat Albert menanggalkan satu persatu pakaiannya dan tubuhnya yang bocah mulus itu pun terekspos. Di saat itu juga aku sudah sama dalam keadaan tak mengenakan pakaian sebenang pun. Mulai sampoin Albert dan sabuni seluruh tubuhnya tanpa melewatkan satu celah pun lekukan tubuhnya. Aku paling suka sabuni di sekitaran belahan bokongnya yang yang tidaklah begitu semok dan turun mengikuti belahan itu sampai ke persimpangan, persimpangan tiga gang Rajawali. Tepat dipersimpangan tiga gang Rajawali terdapat tugu Rajawali yang tak luput untuk dipersihkan sampai bersih dan terlihat gagah. Mendekap Albert dari belakang sambil mengusap-usap tubuhnya kebudian mengguyurkan air yang dingin ke tubuh kita berdua. Perlahan Garudaku pun beranjak bangun dan mulai bersentuhan dengan punggung Albert. Sangat tenang tetapi bergejolah di dalam jiwa ini, gejolak yang mampu membangunkan Garudaku dari mimpi indahnya. Perlahan Garudaku terbang ke gunung kembar dan bertenggert di sana, seolah-olah sedang menemukan mana regen dari kerajaan sihir. Kini tubuh Albert bersih tanpa busa dan perlahan Rajawalinya pun terbangun di hadapan singa yang kelaparan. Menatap wajah Albert yang dipenuhi rasa bingung seolah tak mengetahui apa yang sedang terjadi saat ini, kenapa ada situasi seperti ini. Dengan perlahan aku manjakan Rajawali Albert dengan serangan slime snail. Slime snail menggoda Rajawali Albert dan Albert pun mencengkram kepalaku berusaha melepaskan Rajawalinya dari serangan slime snail. Tapi sayang sekali karena serangan slime snail itu dapat mengurangi damage serangan Albert. Dengan HP dan Armor yang tebal maka Albert dengan serangannya tidak dapat mematahkan serangan slime sanil kepunyaanku. Wajah polosnya dan rasa tidak percaya akan apa yang terjadi membuat semua ini terasa sempurna. Aku melepaskan seranganku dan melihat tubuh Albert yang terlihat tidak kokoh lagi setelah terkena seranganku, tubuhnya kaku seperti terkena stun dan masuk ke dalam dunia genjutsu. Aku mendekap Albert dan menahan tubuhnya yang lemas setelah terkena seranganku. Perlahan ku dekatkan wajahku ke wajahnya yang seolah masih terhipnotis dan ku daratkan bibir ini di bibirnya. Slime snail ku lancarkan kembali dan sepertnya pintu labirin Albert terbuka. Slime snailku menemukan slime snail yang lain di sana tapi dengan tingkat level rendah yang bukan tandingan slime sanilku yang sudah level 30. Slime snail ini saling beradu meski sedikit kaku dan ku rasakan mana Albert terhisap oleh slime snailku. Mata Albert terpejam dan shutdown, doubel kill, triple kill, maniac... Maafkan aku Albert... Aku menyayangimu.

Aku pun tersadar dari lamunanku. Kayaknya Albert enggan untuk bugil-bugilan lagi di depanku. Albert mengganti pakaiannya dengan cepat tanpa sabunan dan tanpa kramasan.

"Kok nggak sabunan?" tanyaku.
"Enggak, nanti aja di rumah mandi lagi." begitu jawabnya.

Aku nggak bisa memaksanya dan acara mandi pun selesai.

****

Perlahan aku dan Albert meninggalkan kolam-kolam yang temani kita sedari tadi beranjak menuju parkiran yang terletak di dekat pintu masuk kawasan kolam renang. Kita menunggu taksi online yang sudah ku order sambil membeli beberapa es krim yang tak terkenal di depan pintu masuk kolam. Tampak Albert ingin mencicipi semua jajanan yang ada di tempat kita menunggu jemputan. Kali ini Albert jajan dengan uangnya sendiri, dan mengisyaratkan padaku nggak mengapa bayar pakai uangnya sendiri karena masih ada. Terlihat ada beberapa uang serebu, limaratus koin dan ada selembar uang 10 rebu dan 5 rebu. Palingan juga ditotal duitnya 20 ebu paling banyak. Itu adalah duit pemberian ayah Albert sebelum kita berangkat kemaren sore.

"Pengumuman kepada semua pengunjung, waktu tinggal 15 menit lagi sebelum penutupan kolam." terdengar keras suara lewat towa yang terletak di sebuah tiang yang cukup tinggi memberitahukan kepada pada pengunjung agar segera menyudahi mandinya.

Setelahnya jemputan kita tiba walau cukup lama menunggu karena sulit mendapatkan driver. Kita pun pergi ke asramaku untuk beres-beres. Aku bertemu temanku si Mail dan aku pinjam sepeda motornya.

"El!" sapaku.
"Apa bang?" tanya Mail.
"Pinjam dulu keretra kau El!" pintaku. Kalau di Medan sepeda motor disebut kereta ya, jadi jangan salah persepsi. Hihihi...
"Di rumah bang." jawab Mail kembali.
"Yuk lah kita ambil." ujarku.
"Yuk lah. Abang mau ke mana?" tanya Mail.
"Mau ngantarkan ini pulang ke RSU AM" jawabku.
"Oke." jawab Mail.

"Bet! Tunggu bentar di sini ya!" seruku ke Albert.
"Ya." jawab Albert.

Aku pun pergi mengambil sepeda motor Mail.

"Bang jangan lupa ya!" seru Mail.
"Iya, pertamax kan?" tanyaku.
"Ya bang." jawabnya lagi.

Selanjutnya aku pun jembut Albert di kamarku. Setelah beres-beres kita pun berangkat.

"Bet, klaau ngantuk bilang ya biar kita berhenti." ujarku.
"Ya." jawabnya.

Aku pun membawa sepeda motor Mail Supra X 125 terbaru yang injeksi, cukup ringan dan nyaman digunakan. (Iklan)
Hehehehehe....

Di dalam perjalanan aku pekan depan ingin ajak Albert rumah pamannya, yaitu suami kakakku sediri yang berada di kampung. Tapi untuk sekarang ku pulangkan aja dulu Albert, kan nanti pinjam lagi.

****

Setelah lama diperjalanan kita pun akhirnya sampai di kostan tempat ayah Albert di tinggal di sekitaran rumah sakit itu. Sedikit ngobrol dengan keluarga Albert. Ayah dan ibu Albert berterimakasih karena aku sudah ngajak Albert jalan dan aku pun mengeluarkan sekantong buah kelengkeng. Aku lupa kalau di mall kemaren kita beli buah kelengkeng dan Albert sangat menyukai buah lengkeng. Buah kelengkeng segar yang kita petik-petik langsung dari rangkaiannya yang baru keluar dari boxnya. Albert saat itu terlihat semangat untuk memilih buah kelengkeng dan masukkannya ke plastik tanpa kita pikir-pikir tuh harganya berapa kok main masuk-masukkan ke plastik sesuka hati aja. Hahahahaha.... Tapi alhamdulillah masih bisa terbayar kok. Cukup banyak kita bawa kelengkeng itu pulang, dan kini buah kesukaan Albert menjadi buah tangan bagi ayah, ibu dan adeknya. Wah... Senangnya bisa bahagiakan keluarga ini.

Pekan depan adalah lebaran Id Adha dan aku ingin ajak Albert lagi. Kalu boleh sih, tapi liat nanti aja dulu karena itu masih dalam pembicaraan berikutnya. Dan pada akhirnya aku pamit untuk pulang.

Bye Albert...

****

Sepekan pun berlalu.

Hemmmm.... Aku ingin jemput Albert ke kostan ayahnya, tapi sebelumnya aku telpon dulu untuk pastikan.

"Halo bang, gimana kondisi abang?" tanyaku ke ayah Albert.
"Ya, masih susah lehernya makan masih sakit. Mau ngomong sama Albert?" tanya ayah Albert.
"Ya, boleh." jawabku.

"Halo." sapa Albert.

Terjadilah perbincangan aku dan Albert yang kata-katanya itu sebenarnya kata-kata ibunya yang ajari dari belakang. Seperti kehabisa kata untuk bicara denganku. Hemmmm... Kakak katakan kalau mereka sekarang sudah pulang ke kampung karena abang (ayah Albert) ingin lebaran di kampung. Wah... Gagal deh kali ini bawa Albert ke kampung. Aku tak jadi pergi jemput Albert dan akhirnya ku putuskan untuk langsung pulang ke kampung.

Hari-hari pun bergulir dan tiba saat lebaran. Hatiku merasa sedih karena Albert tak berada di sisiku saat ini. Aku dapati kabar kalau kakeknya si Ardi (Pemeran utama Zero Diary) sudah sakit dan sekarat, aku pun pergi menemuinya. Rumah tanteku rame tamu-tamu mereka yang datang jenguk kakek Ardi. Saat aku memasuki rauangan tempat kakek Ardi terbaring, kakek Ardi mengisyaratkan kalau dia memanggilku. Kakek Ardi seolah meminta maaf atas apa yang telah terjadi antara dia denganku selama ini yang pernah usir aku dari rumahnya. Aku juga minta maaf kalau ada salah.

Selanjutnya aku pamit dan pulang ke Medan dan keesokan paginya aku dapati ada pesan masuk bahwa kakek Ardi telah meninggal dunia. Aku pun sekali lagi pulang ke kampung untuk memberikan penghormatan terakhirku, aku juga ikut sholatkan dan mengantar kakek Ardi ke pemakaman. Di pemakaman aku disapa oleh ibunya Amoz dan ibunya Ari yang tak lain dan tak bukan adalah kakak sepupuku. Ari yang telah melaporkan diriku kalau aku homo sehingga semua kelauraga besar mereka berkumpul dan blacklist aku dari rumah mereka. Kali ini sepertinya mereka tidak marah padaku bahkan ingin mengakrabkan diri denganku soalnya sudah setahun berlalu aku hilang kontak dari mereka. Tapi aku lebih memilih mundur dari pandangan mereka.

Setelah selesai pemakaman aku pamit kepada keluargaku dan kakakku (kakak kandung) yang merupakan istri paman si Albert.

"Dek... Tadi malam kakak dapat telpon dari ibu si Albert, kata kakak itu untuk sampaikan samamu. Ayah Albert sudah meninggal kemaren malam." begitulah berita dari kakakku.

Pikiranku makin tak menentu dan aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Pastinya Albert saat ini sangat sedih kehilangan ayah yang sangat dicintai dan dihormatinya, tapi aku juga bisa apa untuk itu. Ingin rasanya aku terbang ke rumah Albert walau aku nggak tau di mana rumahnya. Maafkan aku Albert kalau tak bisa melengkapi kebahagiaanmu.

Selesai...